Minggu, 24 Oktober 2010

“TRIMAKASIH HADIAHNYA YA…!” By. Lusi Fontiani (TembangJadul Scout)

“Ya Tuhan, Dia datang lagi! tak ada hal lain, pasti dia akan mengawiniku lagi. Nggak! Ini nggak boleh terjadi, habis aku!”. Aku mengkerut. Merinding.
Mata nyalang penuh ancaman itu menatap tajam kearahku, liukan tubuhnya saat berjalan seakan juga siap menerjang tubuh lemahku ini. Aku semakin mengkerut, aku panik. Pucat. Otakku berputar kencang. Mataku melirik kekiri, melirik kekanan, mencari celah kalau-kalau aku bisa menyelinapkan diri tanpa dia bisa menggapaiku. Ada! Itu disebelah kananku, aku yakin aku bisa melewatinya, sedang dia tidak. Tubuh tambun itu akan menghalangi gerak tubuhnya. Dan kemudian, dengan gerakan kalap, secepat kilat ku mulai pelarian ini, sedikit kulirik kebelakang, dia juga mulai kalap melihatku mencoba melarikan diri. Aku panik lagi, lebar langkah kakinya dua kali lipat dibandingkan aku, aku tertangkap, tidak! Kupejamkan mata, “Tuhan, tolong bantu aku”, rintih hatiku kecut, Dan 1…2…3…Hup!. Yakh! Lolos. Yes! Hari ini aku selamat lagi. Kulirik lagi kebelakang, kali ini dengan tolehan penuh. Hahay! Lihat kawan, benar dugaanku bukan? Tubuh tak proposional itu tak mampu melewati jebakan dadakanku. Tubuhnya terhimpit. Kutinggalkan dia dengan senyum kemenangan, sedang dia menatapku lebih nyalang, lebih ganas dari sebelumnya, tak urung aku bergidik juga dibuatnya.
Terengah nafasku ketika sampai di halaman rumah, letih berlari dari kejaran si bajingan tengik itu, situkang kawin tak tahu malu!. Mendidih hatiku mengingat kejadian yang barusan ku alami. Ribut, bising, dan hiruk pikuk keadaan didalam rumahku, ternyata ada yang sedang berkumpul. Tidak aneh! Rumahku itu memang selalu berisik setiap hari, kalau sepi, itu baru aneh! Tanpa basa-basi aku langsung masuk kedalam. Istirahat, hanya itu yang kuinginkan saat ini.
“Haaa…..datang gak akhirnya die ni, kite cari be dari tadi. Kemana jak kau ni, kalo dicari susah benar gak nemukannye”. Bimbang sumringah. Terlihat dari binar bahagia matanya saat melihatku. Aku hanya melirik malas kearahnya, sedikitpun tak berminat dengan ‘sesuatu’ yang sepertinya akan dia beritahukan padaku, aku capek.
“Tu lah kak bim, payah gak sekarang die ni, dikejar-kejar terus untuk diajak kawin, mana gak die hirau dengan kite ni, somboooong dah kawan”. Sendhel menimpali dengan ditambah senyumannya yang membuatku muak. Ugh! Apa-apaan sih mereka? Nggak tahu apa aku lagi tak ingin diganggu. Aku masih terdiam, tak berniat menjawab olok-olokan mereka. Menghabiskan waktu istirahatku saja. Aku langsung ngeloyor pergi, mencari tempat aman untuk beristirahat, aku tak mau istirahatku terganggu dengan hal apapun, apalagi celoteh kelompok penggosip itu. Hah!
“E…eh…nak kemanae? Bentar lah lok, kite bah belom selesai ngomong ni, tak sopan sekali kau ni dengan orang yang lebih tue!”
Tuh kan! Arrrgghhhh! Ada apa lagi sih sibimbang ni? Apa perlu ku hancurkan seluruh isi rumah biar dia tahu aku lagi tak ingin diganggu?!. Lagi-lagi tak kuhiraukan, kulanjutkan perjalananku yang tertunda dengan langkah yang semakin gontai, lelahku telah mencapai puncak.
“Astagfirullahaladziiiiiimm…..” Bimbang beristigfar menahan kesal, sementara aku semakin tidak peduli. Bimbang berdiri, aku melirik. Bimbang mulai melangkah kearahku, aku benci. Bimbang mendekat, mataku mulai berkunang-kunang. Bimbang menyeringai, tulang-tulangku serasa runtuh. Bimbang semakin mendekat. “berhenti!” perintahku tak terucap, hanya mampu didalam hati. “Ya Tuhan, apa lagi ini?seandainya kau izinkan, aku pengen pingsan ya Tuhan, aku….” Belum selesai doaku terucap, kurasakan tulangku benar-benar runtuh, terlepas satu persatu dari daging yang membalutnya, aku pingsan. Tuhan mendengar doaku. Sayup-sayup masih kudengar kericuhan para penggosip itu. Apa mereka mengkhawatirkan aku?. Ah, aku sepertinya terlelap.
“Hah? Ngapa die tu kak bim? Pingsan kah?”. Nada khawatir itu sepertinya suara Tungau. Dia memang selalu baik padaku. Tapi kenapa aku masih bisa mendengar dengan jelas percakapan mereka?aku kan sedang pingsan, tadi Tuhan mendengar do’aku kok. Atau, jangan-jangan aku tidak pingsan tapi lumpuh! Oh, Tidak! Kenapa bisa begini? Barusan kan aku sehat-sehat saja. Nggak mungkin! Ini pasti ada yang salah. Ku gerakan kaki, tidak terasa apa-apa. Kucoba buka mata, hanya gelap yang ada. Ah, tidak!
“Hah! Ndak mungkinlah pingsan, jawak jak be die tu, minta puji, paling gak kelaparan”. Suara sinis itu kembali datang dari Bimbang. Ya ampun, segitu bencinya kah dia padaku?. Lalu Terdengar suara berisik disebelah telingaku, piring beradu dengan kompor, sendok bertabrakan dengan panci, gelas-gelas berkelontangan menggelinding dilantai papan kotor itu. Benar-benar mereka tak pernah berhenti membuat keributan!.
“Nih, makan lok! Biar tadak lemas macam tu, macam tak pernah diperhatikan orang lain jak die ni”. Bimbang si sinis itu menyodorkan sepiring nasi! Yang benar saja? Semenit yang lalu dia kan benci padaku. Rasanya aku tak percaya, atau jangan-jangan nasi itu diberinya racun?!
“Makanlah, untung-untung orang masih perhatiaan nyiapkan barang tu, cerewet benar gak die ni dengan makanan, sikit-sikit tak mau, sikit-sikit tak mau! Dah lemah gitu baru rasa!”. Phenank angkat bicara, akhirnya dia pun mengomentariku juga. Dia kan orang yang paling tak suka padaku.
Sementara aku semakin letih mendengar komentar-komentar mereka yang tak menentu ditelinga, Bimbang mulai membuka mulutku mencoba menyuapkan sedikit nasi masuk kedalam kerongkonganku dengan perlahan dan lembut. Si sinis itu tak menyakitiku. Perlahan namun pasti, segumpal nasi itu melewati kerongkongan, terus masuk kedalam kantong bagian tempat penyimpanan makanan dalam perutku. Satu suap, dua suap, tiga suap. Tulangku kembali ketempatnya semula. Empat suap, dagingku terasa mulai membungkus lagi. Lima suap, kakiku sedikit bergerak. Enam suap, mataku mulai melihat setitik cahaya. Kesadaranku mulai pulih. Tapi kesadaran itu muncul seiring kantuk yang menyerang, lebih baik aku tidur. Terasa nikmat memulai mimpi dengan tenaga penuh.
“Dasar pemalas! Udah kenyang jak, lalu lah die….”. samar suara komentar kali ini, aku tak peduli siapa yang berkomentar, tak selesai aku mendengarnya. Kantukku lebih mendominasi. Selesai sudah kebisingan itu ditelingaku.
***
“Woiii…bangunlah! Dah berapa jam dah kau tidok ni, tak dibangunkan, lalu tak sadarkan diri lah die ni”. Suara itu dekat ditelinga. Kutebak suara Bimbang. Selalu. Aku menggeliat, segar. Kuseringaikan sedikit bibirku, bermaksud memberikan senyuman manis pada sisinis itu, yah, anggap saja sedikit balas budi karena menolongku mengembalikan tenaga yang hilang tadi. Setidaknya aku jadi tahu kalau aku tidak lumpuh, hanya kelaparan, kehabisan tenaga. Tapi yang aneh, si sinis itu, walaupun sering mengeluarkan nada suara yang tak enak ditelingaku, namun dia juga yang selalu menolongku disaat aku susah. Pernah ku berpikir, mungkinkah dia menyayangiku?.
Kubuka mataku penuh. Wajah Bimbang terpampang jelas. Sepertinya dia sedang membawa sesuatu ditangannya. Mata itu berbinar melihatku terbangun dari tidur. Ada apa lagi? Firasatku tak enak. Selalu saja aku berprasangka buruk pada mereka. Entah mengapa. Wajah-wajah itu selalu menampakan kejahilan yang tak ada habisnya dimataku. Senyumku berubah seringai wapada.
“Nih!,coba kau pakai”. Bimbang menyodorkan sesuatu ketanganku, yang lain hanya menatapku dengan senyum-senyum misterius. Sesuatu itu sepasang kain, coklat tua, coklat muda. Warna ini kan yang biasa mereka gunakan? Kenapa aku juga harus memilikinya?.
“Cepatlah kau coba, kalo ndak pas kan nti bisa dirombak lagi. Itu hadiah dari kame semua, kau kan hari ni ulang tahun, jadi kame buatkan baju tu. Jadi nanti kalo ada acara kau pun bise gak makai baju yang sama dengan kame-kame ni”. Bimbang kembali menjelaskan panjang lebar. Aku tercengang. Tak percaya. Aku ulang tahun? Kupandangi satu-persatu mata-mata yang dalam pandanganku sedang menatapku dengan hangat. Mata-mata pemilik komentar-komentar pedas tadi. Aku terharu, rasanya ingin kupeluk mereka bergantian, aku tak menyangka. Mereka ingat ulang tahunku. Sekali lagi aku tak percaya, pemilik komentar-komentar pedas itu menatapku dengan hangat.
“Eh…kelamaan benar gak die ni, kita be mau liat die pake baju tu”. Tak sabar encrut merampas baju itu dari tanganku. Aku mendelik tak senang. Cepat-cepat dia menggapai tubuhku. Slep! Melekat sudah coklat muda itu dibadanku. Aku senang tapi sedikit terasa tak nyaman dibadan. Kemudian Encrut mengambil yang coklat tua, sepertinya itu akan melekat dibagian bawah tubuhku. Namun….yang kali ini tak berjalan mulus seperti yang pertama, Sret! Ugh..sedikit tersangkut dilutut. Aku meringis. Sret! Encrut memaksa, sekarang coklat tua itu ada dipahaku. Aku mengerang. Sret! Sret! Sret! Tak berhasil. Aku meradang. Aku coba melepaskan diri dari pelukan erat encrut. Encrut melawan, aku lebih melawan.
“Ih, dah lah, serah kau lah!”. Akhirnya setelah melalui pergumulan yang panjang, Encrut mengalah. Yang lain? Mereka tertawa terbahak-bahak sampai memegangi perutnya. Aku mendengus kesal. Keharuan ku tadi hanya sesaat. Sambil masih memegangi perutnya, Bimbang memungut coklat tua yang terlempar didekat kakinya.
“Jangan marahlah, kalo tak nyaman dipakai, nanti dibetulkan agik”.
“Aok ai…gitu pun marah die ni”. Dukungan Kibau untuk pernyataan Bimbang.
Aku masih menatap pedas kearah mereka, ingin marah tak bisa, karena sebenarnya aku tahu, mereka bermaksud baik padaku. Kulihat Bimbang membongkar coklat tua itu, dengan teliti dia membentuknya kembali menjadi sehelai celana dengan ukuran yang berbeda, dan mulai manjahit dengan tangannya sendiri. Haru itu kembali menghampiriku. Biarpun kejahilan mereka tak ada hentinya, tapi ternyata hari ini mereka berkumpul untukku, membuatkan baju untukku. Ah, bila diingat-ingat, sebenarnya mereka tak pernah benar-benar menyakitiku, hanya terkadang kejahilan mereka melebihi batas, hingga selalu menimbulkan prasangka burukku untuk mereka. Pernah suatu ketika phenank mengalungi leherku dengan kunci motor temannya. Kunci itu terasa berat untuk ukuran leherku yang kecil, dan pernah juga leherku itu dikalungi tali yang hampir mencekik leher, aku hampir tidak dapat bernapas dibuatnya, itu ulah kibau. Dan masih banyak lagi kejahilan-kejahilan yang mereka lakukan padaku yang membuat dengusan napasku memburu karena kesal.
Tapi diluar itu, mereka tak pernah berbuat kasar, bahkan terkadang terkesan lembut. Kibau, Bimbang, Multi, Tungau, N’ceb, Sendhel, Babhol, lepuk,, Kuncung, dan Belacan, kurasa mereka yang sering bersikap ramah padaku. Lain dengan Korek, Phenank, Gembol, Rewel, Gaplek, Sengut dan yang lain-lain, bukannya mereka tidak suka padaku, tapi sikap mereka terkadang menjengkelkan. Hanya kudekati saja, mereka mulai menjauh, sepertinya mereka kira aku ini virus. Kalau aku ingin tidur didekat mereka, pasti langsung mendorong tubuhku dengan sedikit kasar, padahalkan aku hanya ingin berbagi kehangatan saja. Huh! Terkadang memang menyebalkan.
Mereka tak tahu, kalau aku sebenarnya merasa kesepian hidup sendiri. Lain dengan mereka yang selalu penuh keramaian. Susah mencari kawan di dunia perkucinganku ini. Oh iya! Kau belum keberitahu kalau aku adalah seekor kucing kan? Yap teman! Aku adalah seekor kucing. Kucing yang tersesat diantara orang-orang yang terkadang membuatku marah dengan kejahilannya, tapi sering membuatku terharu dengan perhatiannya, dan terkadang membuatku iri dengan segala kericuhan, keributan yang mereka lakukan diantara mereka dengan kegaduhan yang tak ada bandingannya, mata mereka begitu hidup bila saling bertemu, Bahagia. Mengingatkanku betapa sunyinya hidupku ini, sendiri, tak berteman.
Tapi kini aku sadar, kesendirianku itu tak terlalu berarti. Setidaknya kini aku memiliki mereka dalam hidupku. Aku yakin suatu saat kejahilan mereka akan sangat kurindukan, dan perhatian mereka akan membuatku tersedu terharu. Aku pernah mengalaminya, ketika itu rumahku ini begitu sepi, yang kutahu para penggosip itu pulang kekampung halamannya masing-masing. Liburan, begitu yang kudengar saat mereka sedang saling berpamitan.
Aku jadi teringat kejadian pagi ini, saat aku akan dikawini lagi oleh si bajingan tengik itu. Bukan sekali dia berbuat begitu padaku, hingga aku hamil dan melahirkan anak yang begitu banyak, aku selalu menyembunyikan semua itu dari mereka, aku takut sekaligus malu. Karena yang ku tahu, mereka tidak menyukai hal itu.
“Beraknya tu bah kak bim suka sembarangan kucing kecil tu, bau a…”. Itu alasan Phenank membenci kehamilan dan anak-anakku. Begitu juga alasan yang lain. Dan ternyata, tanpa sadar sepertinya aku telah berjanji pada diriku sendiri, tak akan kubiarkan diriku dijadikan mangsa napsu dari sibajingan tengik itu lagi. Dan kini aku tahu alasan apa yang sebenarnya membuatku begitu tak ingin dikawini lagi, aku takut bila harus dibenci oleh manusia yang kini telah kuanggap sebagai saudara itu. Tapi entah anggapan mereka terhadapku, aku tak peduli.
“Nah! Jadi dah ni bajunya, kali ni dijamin lah tak bakal sempit agik”. Bimbang menatap lega kearah kain coklat tua yang kini telah menjelma menjadi celana itu. Kemudian Bimbang meraih tubuhku perlahan, dan dengan sangat hati-hati dia memasang celana itu di tubuhku, aku tak melawan. Dan Slep! Kini Coklat tua dan coklat muda itu sudah menyelimuti tubuhku lengkap, kini aku memakai seragam yang biasa mereka gunakan juga. Oh, Aku terharu! Ku tatap satu-persatu wajah-wajah yang menatapku dengan kagum dan bangga itu. Tak bisa kutebak apa isi kepala mereka. Yang jelas sepertinya mereka tak menyangka aku bisa begitu gagah menggunakan seragam itu. Kegagahanku tak kalah dengan mereka. Ah, betapa kini aku merasa sangat menyayangi mereka, lebih banyak dari pada dulu. Tak kusangka mereka begitu peduli padaku. Aku berjalan dengan gagah mengelilingi mereka, kuusapkan kepalaku disetiap kaki-kaki yang sedikit berbau tak sedap, menunjukan betapa berterimakasihnya aku pada orang-orang itu. Mereka tertawa, geli karena tersentuh bulu lembutku. Yah, kini aku benar-benar telah menjadi saudara mereka. Bahagia rasanya.
“Kalo udah gagah macam gini ni, nama dia harus dirubah jadi Gondes ni, biar agak garang siket”. Encrut nyeletuk. Aku tak peduli.
“Ndak lah, keren Fernando lah, kayak nama telenovela-telenovela tu”. Gaplek membantah tak mau kalah. Aku belum peduli.
“Eh kita’ ni, sendhelawati lah lebih mantap, die kan perempuan”. Multi juga tak mau kalah mengeluarkan ide. Aku mulai terusik.
“Ihay! Jangan lah…dari awal bah nama dia tu sepat, kenang-kenangan dari kak multi tu, dah keren dah nama dia, dah terkenal kemana-mana”. Kibau ikut bersuara.
“Ndak, pokonya…”
“Ndak, bagusan….”
“Kok gitu? Janganlah….”
Suara-suara ribut yang sudah tak kupedulikan lagi, aku sudah terbiasa mendengar keributan seperti itu. Paling juga sebentar lagi mereka keletihan sendiri. Biarlah mereka berdebat, lebih baik aku pergi, akan kupamerkan baju baruku ini pada semua orang, juga termasuk si bajingan tengik yang selalu ingin mengawiniku itu. Dia tak boleh lagi seenaknya padaku, kini aku telah menjadi anggota perkumpulan super heboh itu. Kini mereka akan membelaku, sebagaimana mereka membela antar mereka. Langkahku kini semakin gagah dan mantap. Inilah aku teman, seeokor kucing yang tersesat diantara orang-orang gila namun mambuatku bangga bisa ada diantara mereka.
“Wooiii…Gondes, sepat, sendhelawati, Fernando…sini lah lok!”.
Entah siapa yang memanggil, aku tak ingin menoleh. Dikepalaku kini hanya ada rasa bangga dan bahagia. Tunggu para penggosip gila, sebentar lagi aku akan pulang, setelah seluruh penghuni dunia tahu, bahwa aku kini telah menjadi salah satu anggota perkumpulan kalian yang entah apa namanya itu. Trimakasih untuk seluruh rasa yang kalian beri. Rasa bangga, rasa haru, rasa bahagia, dan tak ketinggalan pula rasa marah yang terkadang kalian jejali didadaku. Ku tahu semua ini tak kan pernah terlupakan, sampai bumi tak lagi berbentuk bulat, sampai langit tak lagi untuk ditengadah, dan sampai waktu tak kan pernah lagi mempertemukan kita dalam satu cinta. _THE AND_

Karya ini dipersembahkan untuk mereka yang ku cinta….,,’anak-anak sanggar PRAMUKA STAIN Pontianak’ SEMANGAT!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar