Selasa, 23 November 2010

"BUNGLON OH...........BUNGLON"

Bunglon……….
Tergantung dari sudut mana kita memandangnya,,
Bisa menjadi buruk,, bisa menjadi baik…
Tak mudah menjadi sepertinya,,
Berubah-ubah disaat hati tak ingin melakukannya…
Selalu berusaha menyesuaikan diri dengan keadaan…
Bunglon….
Dimanfaatkan untuk mencuri kepentingan pribadi…
Dimanfaatkan untuk menutupi suatu rahasia….
Dimanfaatkan agar dapat diterima disemua kalangan…
Dimanfaatkan untuk menjaga perasaan orang lain...
Bunglon…
Terkadang terkesan munafik…..
Terkadang terkesan sebagai dewa penolong…
Bunglon…
Terkadang secara sadar atau tidak, kita sering memanfaatkannya…
(TembangJadulScout)

Jumat, 12 November 2010

"Untuk Sahabatku II"

Senja masih memerah saat kau datang dengan binary bahagia dimata…..
Dilatar belakangi oleh hamparan cahaya perak matahari….
Membuatku sejenak terkesima….
Tak percaya itu adalah kamu sahabatku….
Ah…..kau tampaknya bahagia sekali…..
Kemna khawatir, cemas,dan air matamu dulu…???
“Pesan singkat kami tak akan jadi rahasia lagi”…..
Bibirmu penuh senyum mengatakannya………
Aku memandang dengan Tanya…
Kau hanya tersenyum simpul dan menganggukan kepala….
Benarkah? Benarkah itu yang terjadi padamu??
Ah…..bahagiamu adalah bahagiaku sahabat………
Tlah kukatakan sedari dulu….
Andai kau sadar lebih awal….
Kisah cintamu tak akan tertunda sahabatku…………….(TembangJadulScout)

Jumat, 05 November 2010

"MARAH"

Ah…kau memang selalu begitu…..
Membuatku gerah dengan segala tindakmu…
Percuma!!!
(TembangJadulScout)

Kamis, 04 November 2010

"PETROMAKS DIKAMPUNG CANGGIH"

Canggih. Betul-betul canggih!. Rentetan peluru mataku takjub mengitari sekeliling. Aku seakan sedang berada di crakawala kehidupan lain. Silau! Alumunium-alumunium dari atap rumah-rumah megah itu bercahaya tertimpa sengat matahari. Lama aku terpukau, detik jarum jam yang terus memekik di tanganku bergerak kilat, tapi tak ku hirau. Aku masih terpaku. Terpana. Tak habis juga sepasang bibirku meluncurkan kalimat-kalimat kekaguman. Ah, benarkah ini kampung yang kutinggalkan 13 tahun lalu? Rasanya aku tak percaya! Benar-benar perubahan itu mencapai 180 derajat di mataku.
Dulu, lorong-lorong jalan di kampung ini begitu sunyi, sulit menemukan orang untuk teman berjalan. Wajah jalan itu pun begitu kasar dipenuhi batu-batu yang besarnya melebihi kepala jabang bayi yang baru lahir. Pepohonan di kanan-kiri jalan masih membentuk gerombolan hutan lebat tak bersahabat. Jarak antar rumah memerlukan ribuan butir keringat untuk menempuhnya. Dan ketika malam tiba, para jangkrik dan kawan-kawannya berderik menjerit menjadi alunan merdu pengantar kaki bocah-bocah cilik yang berlomba mencapai pintu surau yang berdiri disudut kampung dengan kokoh walau hanya ditemani pelita redup. Sedang bulan yang mencuri sinarnya dari matahari menjadi penerang yang menyembuhkan kebutaan yang tiba-tiba menjadi sindrom menakutkan ketika malam menjenguk. Tapi kalau boleh kukatakan sekali lagi, itu kampungku dulu, duluuuu sekali. 13 tahun yang lalu . sekarang? Ckckckckckck….., decak kagum dari bibirku tak bisa dihentikan dengan mudah.
Sekarang, lorong-lorong jalan itu penuh sesak orang lalu lalang saling tak peduli, ada yang sendirian, berpasangan, hingga membentuk kelompok –kelompok kecil. Jalanan yang dulu kasar melukai, kini mulus, halus, dilapisi aspal mutu tinggi. Pepohonan lebat itu kini runtuh berganti tiang-tiang penyangga rumah yang diameternya melebihi pelukan orang dewasa. Taman bunga buatan ada juga di setiap halaman rumah-rumah megah itu. Bila ingin bepergian, tak perlu lagi melahirkan ribuan butir peluh dari seluruh badan, cukup memencet tombol remote control mobil, atau stater motor dari merk-merk terkenal yang kecepatannya menyamai kecepatan kilat , seperti yang sering diiklankan ditelevisi. Kemudian sampailah di tempat tujuan.
40 menit sudah aku membatu. Dan 40 menit sudah mataku mengirim pesan ke otak, betapa kampungku ini sarat dengan perubahan. Entah apalagi kejutan yang akan aku temui kemudian. Sampai akhirnya aku tersadar ketika sebuah tangan menyentuh pundakku perlahan. Aku terkejut dan kemudian menoleh. Berdiri sosok laki-laki sebayaku, santun pembawannya, mengenakan koko bewarna coklat yang selaras dengan kopiahnya, sarung panjang hitam yang sedikit kusam, dan memakai sandal jepit yang sering kulihat di toko-toko kelontongan. Dia tersenyum. Sederhana.
“Raja Al-Rabbani kan?”. Sapa si Santun itu masih dengan senyum ramahnya. Aku terkesiap. Dia mengenaliku. Hatiku mulai bermain teka-teki, mungkinkah dia teman bermain masa kecilku, atau teman mengaji di surau dulu? Ah, aku tak ingat apapun tentang si Ramah ini. Selagi aku mencoba mengingat, dia mulai menggandengku berjalan.
“Jangan pasang muka aneh begitu, aku ini teman kecilmu, dulu namaku Yosep, tapi sekarang sudah berganti menjadi Yusuf. Bagusnya kita mampir ke Masjid saja dulu, mumpung sudah masuk shalat zuhur, kita bisa berjamaah”. Jelasnya sambil mencoba mengembalikan memori masa kecilku.
Aku terpana tak bergerak mendengarnya. “Subhanallah…!”. Kalimat tasbih itu mengalir begitu saja dari bibirku, tak sadar aku berucap.
“Kau Yosep Si Badung itu kan? Yosep yang selalu menggangguku ketika sedang shalat Jum’at di Masjid, kau tusuk-tusuk telingaku karena waktu shalat aku selalu mengambil posisi di sebelah jendela supaya bisa melihat kalian yang tidak shalat bermain kelereng di halaman Masjid!”. Ingatanku mulai pulih, sedikit demi sedikit film dokumenter masa kecilku berputar kembali di bioskop dalam otakku. Aku tertawa. Dia juga tertawa. Lucu mengingat masa-masa dulu.
“Ah…., tapi kau kan dulu bukan seorang….”. Tak kuselesaikan kalimat itu, ragu.
“Ya, dulu aku memang bukan seorang muslim, tapi sejak 10 tahun lalu aku mulai berubah keyakinan, akhirnya seperti yang kau lihat sekarang ini’. Tegas jawabnya, tanpa ragu dan canggung. Aku menghela napas, sesak. Bukan karena sedih, tapi karena kagum melihatnya kini begitu penuh percaya diri. Yakin.
Tak kulihat waktu, tiba-tiba saja kaki kami yang berjalan dengan serempak telah menapaki halaman sebuah Masjid yang sangat sederhana, tidak megah seperti rumah-rumah yang kulewati tadi, namun begitu teduh menenangkan.
“Sudah sampai, cepatlah ambil wudhu, biar aku yang menjadi imam, biar kau tahu mualaf juga bisa lancar berbahasa Arab, apalagi kalau cuma Al-Fatihah. Ngomong-ngomong, kau masih seorang muslim kan sampai hari ini?”. Goda Yusuf padaku dengan tawa jahilnya yang kurasa tak dibuangnya sejak dulu.
Aku tertawa menanggapinya. “Ada-ada saja kau ini Yosep. Hm…, biar kupanggil kau Yosep saja ya, biar aku tetap ingat kau teman kecilku yang badung dan selalu jahil padaku”. Aku membalas godannya, kami berdua sama-sama tertawa, dia menggeleng sambil tersenyum padaku. Namun tiba-tiba Yosep menatapku lekat, lalu kemudian memelukku erat.
“Aku benar-benar merindukanmu kawan”. Ucapnya lirih di telingaku. Aku bergeragap, tak siap dengan kondisi mengharukan seperti ini. Kurasakan pundakku dingin. Basah. Ya Tuhan, kawan jahilku ini menangis.
“Sudah lama aku merasa sendirian, sejak acara perpisahan SD kita dulu, kau pergi melanjutkan sekolah, sedang yang lain, ah….”. Kalimatnya menggantung, aku mematung tak bisa berkata apa-apa. Heran. Kulepas pelukannya, kupegang kedua pundaknya yang sedikit bergetar, dan kutatap wajah yang tadi penuh percaya diri itu, sendu. Kesedihan itu menggelayut di matanya, tapi aku tak tahu hal apa yang membuatnya begitu sedih. Rasa bersalah mencuat di hatiku mengingat bagaimana pertemuan kami tadi, betapa sedikitpun aku tak mengenalinya, sedang dia begitu melihatku lansung menebak dengan tepat. Padahal bukannya aku tak pernah mengingat teman-teman kecilku itu, tapi perubahan besar pada mereka yang tak dapat kuikuti hingga membuatku pangling.
“Yosep, aku juga merindukan kau dan juga teman-teman yang lain, makanya aku datang hari ini, tapi waktu zuhur kita hampir habis, sebaiknya kita shalat zuhur dulu, baru setelah itu kita saling bercerita dengan leluasa. Ngomong-ngomong, kau jadi kan menjadi imamku hari ini?”. Kualihkan pembicaraan itu denagn sedikit menggodanya, mencoba menekan buih-buih rasa haru yang mulai menyebar. Yosep tersentak, kembali teringat tujuan awal kami berdua datang kemari, lantas dia cepat mengusap air matanya dengan ujung pakaian dilengannya, tersenyum malu menatapku.
“Ayo, kita langsung saja ambil wudhu, tempatnya di belakang masjid ini”. Terburu-buru Yosep menarik lenganku agar mengikuti langkahnya. Kami mengitari halaman masjid yang tidak begitu lebar. Ketika sampai, ku lihat seseorang juga sedang mengambil air wudhu, sudah cukup berumur. Kami menunggu antrian karena kran air wudhu itu ternyata hanya satu.
“Kenapa sepi sekali yang shalat di masjid ini Sep, kulihat hanya kita berdua dan ditambah bapak itu. Kawan-kawan kita yang lain pada kemana?”. Aku celingak-celinguk ke jalan raya berharap bisa melihat serombongan teman-temanku yang dulu selalu berlomba berlari menuju surau tempat kami mengaji. Yosep tersenyum melihat ulahku, namun matanya mengguratkan sedikit kesedihan.
“Yah, memang begini lah keadaannya Al, mungkin penduduk masih kecapean pulang dari kerja, keadaan seperti ini pun terjadi di waktu-waktu lainnya, Hm….Kau lihat sendiri sajalah nanti”. Yosep menjadikan penjelasannya menjadi sebuah tebakan, bergegas dia mengambil air wudhu, begitu segar air itu menyentuh wajahnya yang bersih bercahaya. Kejutan yang disiapkan Tuhan untukku hari ini benar-benar tak pernah kusangka, bisa berwudhu dan shalat berjamah dengan teman kecil yang dulu begitu getol menggangguku ketika shalat dan bukan seorang muslim. Benar-benar kejutan yang besar untukku, tanpa terasa ucapan syukur yang begitu penuh mengalir deras dalam hatiku. Ah, benarkah kau Yosep teman kecilku kawan? Bisikku perlahan.
“Eh malah ngelamun, cepat sana ambil wudhu, kutunggu di dalam!”. Yosep beranjak pergi menuju pintu masjid. Kini giliranku berwudhu, dengan penuh perasaan kuresapi air sejuk itu masuk dipori-pori kulitku, dengan tertib kuurutkan bagian-bagian badan yang dibersihkan. Ini pertama kalinya setelah 13 tahun aku akan melaksanakan shalat dikampung kelahiranku. Rindu itu akan terobati hari ini.
***
“Bagaimana kabar keluargamu di Kota Al?”. Percakapan itu kami mulai setelah shalat zuhur selesai dengan Yosep menjadi Imam. Kini kami sedang berleha-leha diperut Masjid melepas lelah sambil berbasa-basi menanyakan kabar masing-masing. Kuketahui Yosep belum berkeluarga, alasannya kata Yosep susah mencari perempuan solehah di kampungku ini, lucu sekali temanku yang satu ini. Mengenai keIslamnnya, banyak cerita menyedihkan yang menyelimutinya, dilecehkan dan dijauhi keluarga hingga tak dianggap lagi sebagai anak. Sampai kini keluarganya tak pernah rela dia menjadi seorang muslim. Tapi keimanan temanku itu tak bergeming, baginya Islam adalah agama dimana nyawanya akan tentram ketika terlepas dari jasad. Aku benar-benar salut padanya, kutepuk pundak kokoh Yosep, mencoba mengalirkan sedikit kekuatan yang mungkin akan diperlukannya suatu saat.
“Nah, kalau ceritamu sendiri bagaimana Al? dari tadi aku terus yang bercerita, ada keperluan apa sampai kau datang, dan lalu gelar apa saja yang sudah kau gondol dari kota besar itu?”. Pertanyaan Yosep mengagetkanku yang masih hanyut dalam alur kisah hidupnya yang begitu penuh liku. Bila dibandingkan, kisah hidupku tidak ada apa-apanya, datar, biasa-biasa saja.
“Ah, kisah hidupku tak terlalu banyak yang bisa diceritakan, semuanya biasa-biasa saja. Seperti yang kau tahu, lulus SD keluargaku pindah ke kota, aku meneruskan sekolahku di sana, sampai akhirnya gelar sarjana pendidikan kusandang sebulan yang lalu.”. ceritaku singkat.
“Wah! Sudah menjadi guru kau sekarang rupanya, kalau begitu ini saat yang tepat Al, kau telah selesai pendidikan, saatnya sekarang kau mengabdi untuk kampung ini. Anak-anak di sini butuh seorang pendidik yang sungguh-sungguh Al, bukan sekolah yang hanya formalitas saja!”. Berapi-api Yosep mempromosikan kampung kelahiranku ini. Sementara aku tak begitu paham dengan sekolah formalitas seperti katanya.
“Kenapa tidak kau saja yang menjadi pendidik untuk mereka Sep?”. aku bertanya keheranan, beringsut aku menghadapnya yang sedang duduk dengan kedua telapak tangan menyanggah dagu, matanya menerawang jauh, sulit kuikuti kemana arah mata itu melayang.
“Seandainya bisa Al, pasti aku akan sangat bahagia, tapi aku ini hanya lulusan SMP, semenjak aku pindah keyakinan, keluargaku tak lagi bertanggung jawab atas hidupku, jadi aku sendiri sibuk mencari sesuap nasi. Tapi itu yang menjadi sesalku sampai saaat ini”. Tanpa dia berkata menyesal pun, aku sudah dapat menangkap dari nada suaranya. Tertegun aku melihat wajah penuh luka namun tetap bercahaya itu, begitu tegar dan tak pernah berhenti berharap.
“Ah, ya sudahlah, kita pikirkan saja itu nanti-nanti, sekarang kita ke rumahku saja dulu, kau pasti belum makan sedari tadi. Di kampung ini kau tinggal saja di rumahku, toh di sinipun tak ada keluarga ynag kau tuju bukan?”. Gerakan tubuh Yosep melonjak cepat untuk berdiri, sambil dia merapikan kopiah yang agak tidak simetris di kepala bulatnya. Aku ikut berdiri mengikuti temanku yang sebatang kara ini. Semua hal di sini membuatku sangat panasaran, jalan penuh sesak itu, rumah-rumah mewah itu, dan juga sahabatku yang satu ini, Yosep. Entah apa yang telah terjadi pada kampung ini semenjak kepindahanku 13 tahun lalu. Terlalu banyak menyimpan misteri yang belum bisa kupecahkan.
***
Purnama malam ini tampak tak begitu kemilau, cahayanya hanya mengintip di sudut awan-awan kelabu yang menaungi gempal tubuhnya. Bintang pun tak begitu gegap gempita memamerkan kerlip indahnya. Anugrah alam itu kini mulai tertindas oleh teknologi zaman. Lampu ratusan watt yang terpasang disetiap sudut rumah dan badan jalan lebih menjanjikan kesetiannya untuk menerangi penghuni kampung canggih itu. Suara kawanan jangkrik pun kini telah tenggelam berganti dengan pekik riuh rendah suara-suara dari televisi yang sudah menjamur disetiap rumah.
Aku tengah duduk diteras masjid, baru saja selesai menjalankan shalat isya berjamaah. Masih tetap bertiga. Ah tidak, salah!. Kali ini berempat, Yosep sebagai imam, aku makmum ditemankan oleh seorang laki-laki yang juga menjadi teman makmumku ketika shalat zuhur siang tadi. Dan satu buah lampu petromaks yang sengaja dibawa oleh Yosep ketika kami hendak ke masjid. Ketika ku tanya untuk apa, dia hanya berkata, “Kau akan tahu sendiri nanti”. Begitu katanya.
Kemudian ketika ku tahu petromaks itu digunakan untuk penerang di Masjid, mataku nanar tak percaya, hatiku serasa akan meledak karena banyaknya pertanyaan yang tak terlontar. Gila! Apa-apaan ini? Apakah mungkin di kampung secanggih ini, dengan rumah-rumah mewah dan jalan-jalan yang silau karena pancaran sinar lampu, semantara satu-satunya masjid tempat penduduk ini mengadukan doanya hanya menggunakan petromaks hasil sumbangan dari satu orang, yaitu Yosep. Sungguh tak masuk akal! Dadaku bergemuruh marah. Aku mulai paham dengan keadaan kampung ini sekarang!.
Aku tercenung memikirkan semuanya, masjid ini, lampu petromaks ini, dan juga ucapan Yosep sebelum memulai shalat maghrib tadi, ketika Yosep melihatku sedang memandang jauh ke ujung jalan masih menanti serombongan sahabat-sahabatku dulu.
“Mereka tak akan datang, percayalah! Benjo, Agil, Wawan, Buya, Hendra, dan yang lain-lainnya. Kalau kau ingin menemui mereka, datang saja ke rumah bang Galang, rumahnya di pojok barat kampung ini. Pasti saat ini meraka sedang asyik memegang kartu, kalaupun tidak, pasti sedang mengadukan ayam-ayam jago peliharaannya”. Kata-kata Yosep cukup jelas bagiku, tak perlu lagi dipaparkan, dijabarkan, maupun diuraikan. Lunglai langkahku mendekati sajadah yang terletak dibelakang Yosep, kumulai shalatku dengan hati berkecamuk, dan kecewa, namun bingung harus berbuat apa.
Sia-sia penantianku menunggu para pesaing dimasa kecilku ketika lomba berlari mencapai surau terlebih dahulu. Kali ini mereka kalah telak, hingga waktu isya lewat, mereka tak juga menampakan batang hidung yang rata-rata pesek itu.
“Begitu parah kah perubahan di kampung ini Sep?”. tanyaku lebih pada rintihan. Pedih. Ku toleh Yosep yang duduk disebelahku.
“Jadi selama ini penghuni Masjid disetiap waktu shalat hanya kau dan bapak tua itu?”. Sebenarnya aku sudah mengetahi jawabannya. Yosep tersenyum getir, dan itu cukup menjelaskan semua.
“Semua perubahan ini berawal dari beberapa tahun lalu Al, ketika perusahaan minyak itu datang membawa harapan baru untuk penduduk kampung ini. Jalan-jalan diperbaiki, lalu kemudian listrik pun masuk. Semua warga mulai keranjingan mencari uang, membuat rumah-rumah megah, dan berburu perabotan di dalamnnya. Dari pagi hingga petang menjelang mereka lalu sibuk berlomba berlari mencapai tempat kerja, bukan surau lagi. Awalnya akupun bahagia melihat warga di sini maju, tapi semakin lama, kemajuan ini terasa ganjil bagiku”. Tak ku penggal cerita Yosep, aku sendiri larut membayangkan masa-masa sibuk itu, sementara Yosep melanjutkan kisahnya dengan wajah murung tak bergairah, tangannya mengepal menyentuh kening. Rasa kesal itu terpancar deras dari mata beningnya.
“Memang, tak lama kemudian surau buruk itu disulap menjadi Masjid oleh perusahaan minyak hingga seperti sekarang ini, tapi untuk apa? Toh sejak saat itu, Masjid ini menjadi tak berpenghuni, terabaikan, dan malah terlupakan. Ramai hanya ketika hari Raya saja, itupun hanya sekejap!”. Sahutan cicak di dinding Masjid mengaminkan cerita Yosep. Sementara di langit bangunan, petromaks berkedap-kedip hampir kehabisan energinya, menyedihkan. Yosep lalu menggeliat bangun, diraihnya petromaks itu, dengan teliti dan sabar dipompanya agar cahaya yang keluar lebih benderang. Dan hasilnya cukup memuaskan, sinarnya kembali mampu menyelundup keseluruh ruang Masjid dengan sempurna. Aku hanya memperhatikannya tanpa berkomentar. Hening.
“Coba kau lihat petromaks ini!”. Yosep memecahkan keheningan dan mendekatkan petromaks itu ke tubuhku. Aku sedikit menjauh, panas.
“Ini menjadi bukti bagaimana tak pedulinya penduduk kampung ini dengan tempat ibadah mereka. Berwatt-watt lampu menerangi rumah-rumah megahnya, tapi untuk menyalurkan satu lampu ke masjid saja mereka enggan, alasannya kata mereka di Masjid ini jarang ada kegiatan, jadi tidak begitu memerlukan penerang. Benar-benar keterlaluan!”. Gemeletuk gigi Yosep menahan geram hatinya. Wajahnya mengeras, emosi itu sepertinya sebentar lagi akan meledak. Aku mendengus.
“Apa tidak ada sesepuh kampung atau mungkin guru agama yang bisa bertindak Sep?”. Ku tatap wajah pias Yosep dalam keremangan cahaya petromaks.
“Sesepuh kampung yang mana? Yang setiap hari bergulat diatas meja judinya itu? Huh! Dan guru agama di kampung ini, ya bapak tua yang setiap hari berjamaah dengan kita itu. Dia juga tak bisa berbuat apa-apa Al, dia hanya seorang pendatang di kampung ini, mana didengar suaranya. Orang-orang disini sudah terlalu sombong, susah!”. Putus asa jawaban Yosep, sepertinya harapan untuk memperbaiki itu telah jauh dari jangkauannya. Mata bening itu mulai terlihat letih dan berkaca-kaca.
“Belum lagi pengaruh buruk yang dibawa para pendatang yang suka berjudi dan mabuk-mabukan yang ternyata malah sangat diterima oleh penduduk sini, gerombolan bang Galang itu. Dan kau tahu Al? kawan-kawan kita, kawan-kawan mengajimu dulu adalah salah satu korbannya! Aku sendiri bingung harus bagaimana, aku tak sanggup bila menentangnya sendirian Al!”. Amarah Yosep kini pecah menjadi raungan tangis yang membuat miris, sedu sedannya tak terkendali. Kesedihan dan kekecewaan itu jelas menyayat tajam dilubuk hatinya, dan ketidakberdayaan membuat dia merasa tidak berguna.
Aku sendiri kini hanya bisa terpaku, bingung melihat kenyataan yang ada. Baru siang tadi aku begitu terpesona melihat perubahan itu, tapi sekarang, pesona itu terasa menghitam dimataku. Aku lalu teringat permintaan Yosep padaku untuk menjadi pendidik dikampung ini, kini aku sendiri ragu bisa melakukannya. Kupandangi Yosep yang masih sesenggukan disebelahku, lalu beralih pada petromaks yang setia mendampinginya menerangi masjid ini, ada cahaya disitu walau sedikit redup, tapi ku yakin dia tak kalah setianya dengan lampu ratusan watt di jalan-jalan besar itu yang menerangi kehidupan disekitarnya. Lalu kemudian kualihkan tatapanku ke ujung jalan depan masjid yang berkelok dan berkerikil, walau jalan itu tak semulus yang lainnya, tapi ada harapan untuk bisa diperbaiki. Sama. Sama seperti kampung ini. Aku yakin pasti akan selalu ada harapan untuk memulainya dari awal, memulainya menjadi lebih baik.
Dan secara mengejutkan, satu semangat menjalar hangat di hatiku, melesat cepat bagai anak panah yang membawa gairah yang melonjak-lonjak tak terkendali dan menjelma menjadi seulas senyum berapi-api di bibirku. Kini aku yakin aku pasti bisa merubah semuanya, demi kampung kelahiranku. Sekali lagi ku lirik secara bergantian antara Yosep dan lampu petromaks yang berkedap-kedip lemah itu. Namun kini pandangan itu diringi senyuman yang berisi harapan baru. Tenang kawan, harapan itu belum mati. Masih ada kau, aku, dan lampu petromaks ini yang akan bersama-sama membangun semaunya dari awal walau secara perlahan. Bisikku jauh disudut hati pada sahabat mualafku itu.
(TembangJadulScout) NB: Tugas Nulis cerpen Club Menulis STAIN Pontianak

Rabu, 03 November 2010

"Si Ceking berotak Ganda!"

Matanya menjadi empat akibat kaca mata yang bertengger nikmat di dua belah belakang telinganya….
Pandangannya selalu serius, sedikit sekali dia tersenyum. Bisa dibilang pelit malah…
Ah…tapi sebenarnya dia sangat baik….
Mata di balik kaca itu selalu menyiratkan keramahan walau sepertinya ditahan….tapi sungguh, Aku tak tahu mengapa aku berpendapat seperti itu….
Dia pintar! Sangat pintar. Terkadang aku berpikir, begitu sempurnanya Tuhan menciptakan dia. Tapi aku tahu, dia pasti memiliki kekurangan.
Permainan rubik selalu mengisi waktu senggangnya. Unik.
Ketika yang lain asyik masyuk dengan facebook dari internet yang tersedia dengan gratis, ia malah sibuk dengan teka-teki yang dia hadapi dengan rubiknya.
Bentuk segitiga, bentuk memanjang, bentuk ‘berantakan’, apalagi yang berbentuk kubus, habis sudah dilahap melalui tangan gemulai dan otaknya yang berputar mencoba menaklukan permainan itu.
“Pantas saja mata itu menjadi empat”. Batinku mengutuk keseriusan itu.
Tinggi sekitar 167 cm, berat badan berkisar 50-55 Kg membuatnya begitu terlihat jangkung, kalau boleh lebih kejam aku ingin menyebutnya ‘ceking’.
Aku menjulukinya ‘si ceking berotak ganda’. Bagaimana tidak ganda???
Ckckckckcckk…..bayangkan! dia menjadi calon guru yang memegang pelajaran Matematika. Pelajaran yang sama sekali tak ingin kusentuh dari semenjak aku mengenal yang namanya bidang studi di sekolah. tapi…..begitu sebuah gitar tersandang di depan dadanya yang terlihat rapuh, dia seolah menjelma menjadi gitaris band terkenal mancanegara Linkin Park! Yah….minimal lah Bondan Prakoso dengan betotan Bassnya. Subhanallah…..benar-benar seimbang dia menggunakan otak kiri dan kanannya.
Ade panggilannya, aku tak tahu kepanjangan dari namanya itu. Kulit putih, bersih. Mahasiswa PPL dari UNTAN. (TembangJadulScout) NB: Edisi Profil Teman PPL di MTsN 1. To Be Continued......

Senin, 01 November 2010

“YUSDIANA, DOSEN JAGO CERITA!”

Kupegang erat-erat buku saku bersampul motif batik yang selalu menemaniku kemanapun aku pergi. Mulutku komat kamit tak jelas menandakan keadaaan hati yang sedang galau. Kakiku juga tak henti bergerak reflek mencoba mengurangi rasa gundah yang sedang melanda. Aku tengah menanti antrian bertemu dengan ketua Jurusan Tarbiyah di kampusku, STAIN Pontianak, Drs.Yusdiana, M.Si. Dosen yang rencananya akan menjadi bahan tulisanku untuk tugas menulis profil dosen. Waktuku hanya dua minggu, aku harus mengejar deadline, deadline adalah bahasa untuk para wartawan yang artinya batas waktu yang ditentukan. Bangga juga akhirnya bisa menggunakan kata-kata itu. Hehehehe....
Baru kali ini aku merasakan nikmatnya antri yang begitu lama, malah terlintas do’a di benakku agar antrian itu lebih lama lagi. Rasanya aku benar-benar belum siap melakukan wawancara perdanaku, dengan ketua jurusan pula. Jangankan wawancara, teknik-teknik wawancara saja aku tidak menguasai.
“Santai jak, wawancara tu nggak susah kok, yang penting harus sopan. Dan satu lagi, kita udah harus punya daftar pertanyaan untuk orang yang kita wawancara”. Saran salah seorang kakakku, Lilis, sebelum aku masuk ke dalam antrian sambil berusaha menenangkanku yang terlihat berantakan tak karuan. Wajar saja dia berkata begitu, dia salah satu ‘dedengkot’ penulis dan wartawan yang berkeliaran di kampusku. Wawancara seperti itu pasti mudah baginya. Akhirnya dengan setengah dipaksa, aku masuk ke dalam antrian yang sangat panjang, pastinya itu terasa bila aku dalam keadaan normal. Aku terguncang. Peluhku menggelinding. Namun di tengah kekacauan itu, tiba-tiba terlintas bagaimana kisahku sampai pada tahap duduk menegangkan menunggu antrian seperti ini.


Dua hari yang lalu. Hidup itu sebuah pilihan, dan setiap pilihan diyakini pasti ada konsekuensinya. Kira-kira begitulah isi dari salah satu buku yang pernah kubaca sekilas. Keputusanku untuk masuk manjadi anggota Club Karya Tulis Ilmiah, atau yang biasa disebut Club Menulis di kampusku, telah menggelandangku pada petualangan baru yang mencengangkan. Menulis. Yap, menulis dengan ilmu menulis. Sesuatu yang tak pernah kubayangkan sebelumnya, apalagi kulakukan. Semua itu berawal dari kebiasaan coret-coret tidak jelasku yang memprihatinkan lingkungan sekitar, terutama sahabat dekatku. Hingga munculah ide ‘gila’ darinya untuk masuk Club menulis. Dengan segala ketidaktahuanku di dunia menulis, akhirnya aku nekad terjun bebas. Aku mendaftar sebagai anggota Club Menulis, sesaat bulu kudukku meremang ketika mulai meneteskan tinta menyoretkan namaku di kertas formulir pendaftaran. Bukan karena takut, tapi lebih karena malu, malu bila nanti tidak bisa berbuat apa-apa.
Pertemuan pertamaku di Club Menulis. Ternyata sangat menggoda! menggoda kakiku untuk kembali berputar arah melarikan diri. Waduh! Lirik kiri, lirik kanan, ruangan yang tidak begitu luas namun dipenuhi kursi itu dihuni para sesepuh penulis dan wartawan di kampusku. Kepiawaiannya menulis sudah tidak diragukan lagi, hatiku semakin ciut. Kucoba leburkan ketakutanku dengan paksa, cepat-cepat kusembunyikan tubuhku di bagian pojok ruangan, berharap tak ada satu orang pun yang menyadari kehadiranku. Tapi ternyata aku salah!
“Kakak yang baju kuning, ada pertanyaan? Kayaknya anggota baru ya? Soalnya saya nggak pernah liat sebelumnya, tadi Saya mau negur tapi gimana gitu…”
Deg! Baju kuning? Aku? Arrrrrrgh! Ternyata tubuh besarku tak bisa menghalangi pandangan orang-orang di sekitar. Dan Pak Yus. Yusriadi, dosen yang merangkap sebagai pembimbing Club Menulis, baru saja menyapaku. Apa yang harus kukatakan? Kepalaku tiba-tiba berdenyut tak karuan. Kukerjapkan mataku agar lebih cemerlang melihat sekitar, kupompa percaya diriku agar tak terlihat gugup saat menjawab, tapi sepertinya pompa itu telah aus, kepercayaan diriku malah buyar. Lenyap.
“Tu lah Pak, saya juga tadi sebenarnya mau negur, tapi gimana gitu...”. Mulutku keseleo. Sungguh keterlaluan! Malah kata-kata itu yang keluar. Bisa-bisanya aku berkata seperti itu, gawat. Kucubit dengan keras lenganku sendiri sebagai hukuman. Tapi untung saja Pak Yus tidak begitu ambil peduli dengan jawabanku yang sangat tidak sopan. Beliau sedang menanti perkataanku selanjutnya, giliranku yang bingung harus berkata apa lagi.
“Saya bingung Pak, belum tahu harus gimana”. Kataku akhirnya setelah sebelumnya terlebih dulu memperkenalkan diri. Memperkenalkan diri wajib hukumnya bagi anggota baru. Aku menunduk sambil garuk-garuk kepala, tak sanggup bila harus menegakan kepala. Tak sanggup menjadi pusat perhatian seluruh isi ruangan.
Pak Yusriadi mengangguk-angguk, sepertinya dia mulai paham dengan keadaan dan kemampuanku. Dialihkannya pandangan ke seluruh ruangan, aku bernafas lega, kusandarkan punggungku di sandaran kursi yang kududuki, mencoba mengembalikan denyut nadiku yang sempat berdetak tak normal. Beliau lalu melanjutkan penjelasannya mengenai bagaimana menulis, diselingi dengan pemberian motivasi pada anggota Club untuk selalu bersemangat dalam menulis dan berkarya. Aku terbuai bersama anggota lainnya saat mendengarkan penjelasan itu, hatiku sudah sedikit mulai tenang.
“Jadi begitu ya, target kita sekarang, satu minggu lagi selesai menulis cerpen, dua minggu lagi selesai menulis profil dosen, dan mengenai tulisan tentang budaya kita bicarakan lain kali, yang jelas tetap jadi target kita”. Pak Yus mengakhiri penjelasannya sambil meregangkan otot-otot tubuhnya. Sepertinya beliau sedikit merasa lelah.
Aku terperanjat mendengarnya, hari pertama masuk aku langsung dihadapkan pada tugas yang tidak ringan, apalagi untuk ukuran penulis amatir tanpa pengalaman sama sekali sepertiku. Hatiku mengkerut, ketakutan tak bisa melakukan apa-apa muncul lagi. Terutama mengenai menulis profil dosen. Kutinggalkan ruangan yang berada di lantai dua gedung perpustakaan itu dengan perasaan gamang. Ragu mampu melaksanakan tugas itu. Pertemuan hari itu memang bukan pertemuan pertama bagi anggota lain, makanya tugas juga sudah mulai menumpuk. Hanya aku yang baru bisa hadir. Dan kini, di bangku panjang depan ruang Ketua Jurusan Tarbiyah aku terdampar memutih, pucat.


Orang terakhir di depanku maju, aku semakin gugup. Keringat dinginku membanjir, wajahku pias, tiba-tiba saja perutku terasa mulas tak menentu dan kakiku juga tiba-tiba terasa kram, padahal rencananya aku akan mundur menuju antrian paling akhir, mulai antri lagi dari awal. Walaupun nyaliku tidak begitu siap untuk wawancara, tapi aku sudah bertekad harus mendapatkan data-data itu hari ini, aku tidak ingin menunda lagi. Kupaksa menggerakan kakiku sedikit demi sedikit, berhasil! Aku mulai berdiri, kutarik nafas dalam-dalam, siap untuk kembali menjadi antrian yang paling terakhir lagi, dan ketika aku mulai melangkahkan kaki, tiba-tiba...
”Yang selanjutnya, silahkan masuk!”. Suara orang yang tadi berada di depanku bagaikan guntur meledak yang menghancurkan seluruh organ tubuhku hingga menjadi kepingan-kepingan halus. Aku serasa meleleh. Ya Tuhan! Apa yang harus aku lakukan? Bu Yusdiana yang sedang duduk dalam ruangan sudah terlanjur melihatku walau sekilas. Lama aku terpaku, satu detik, lima detik, sepuluh detik. Akhirnya dengan sisa kesadaran yang kumiliki, aku mencoba menyatukan kembali kepingan-kepingan tubuhku agar kembali seperti semula. Kekuatanku sedikit pulih. Aku lalu coba langkahkan kaki, namun kini arahku bukan kebelakang antrian, tapi menuju arah di mana Bu Yusdiana sedang duduk menekuri tumpukan kertas putih yang terletak di atas meja dalam ruangannya. Beliau terlihat sedang konsentrasi. Kukumpulkan keberanianku yang masih tersisa dengan perlahan.
“Assalamualaikum….” Salamku lirih, lebih mirip seperti rintihan menyayat. Sementara keringat di punggungku semakin mengalir deras.
“Wa’alaikumsalam…” Bu Yusdiana menjawab salamku sambil menoleh sekilas, matanya tertuju kembali pada kertas putih di atas meja yang tadi sedang menjadi konsentrasi pikirannya. Setelah kulihat dari dekat, sepertinya kertas-kertas itu skripsi dari seseorang yang tadi duduk di depanku.
Lantas aku melangkah masuk, kuhampiri kursi yang persis berada di depan Beliau. Aku duduk perlahan, takut menimbulkan bunyi yang bisa membuyarkan pikirannya. Lama hening. Aku tak berani menyapa terlebih dulu, sepertinya beliau benar-benar sedang berkonsentrasi pada skripsi yang sedang dibacanya. Sambil menunggu, kulayangkan pandanganku ke ruang sekitar. Ada buku-buku dan map bertumpuk di atas meja, juga tas kecil berisi handphone tergeletak bebas, dan beberapa alat tulis yang tersusun dengan rapi, lalu ada juga….
“Ada keperluan apa?”.
Nyos! Aku terhenyak. Pertanyaan Bu Yusdiana memotong pengamatanku terhadap ruangan itu, dan lebih parahnya memotong juga sepenggal keberanian yang telah susah payah kukumpulkan sedari tadi. Cepat-cepat kuperbaiki letak dudukku, tatapanku lurus ke depan menutupi gelisah yang tiba-tiba mendera lagi setelah sebelumnya agak mereda. Kuucap basmalah sebelum memulai berbicara, berharap mendapat kekuatan dari-Nya yang benar-benar sangat kubutuhan saat ini. Aku berusaha memberikan senyuman ramah, tapi sepertinya malah seringai ketakutan yang keluar. Kucoba rebut udara sekitar lalu menghirupnya dalam-dalam, dan…
“Sebelumnya saya mohon maaf mengganggu waktu Ibu, Saya sedang mendapat tugas dari Club Menulis untuk menulis profil dosen, dan saya memilih ibu sebagai tokoh yang akan saya ambil kisah hidupnya, semoga ibu mau mengizinkan”.
Huft! Lepas. Kalimatku yang tidak terlalu panjang itu benar-benar mujarab. Sebongkah beban didadaku terurai cepat. Kini dadaku kembali bisa menampung dengan sempurna bila dijejali oksigen untuk bernafas.
Bu Yusdiana menengadahkan kepalanya mendengar peryataanku dan memandangku dengan tatapan yang sulit kutebak maknanya. Hatiku berdegup kencang menunggu jawaban. Aku tak berani membalas tatapan itu. Walaupun kini perasaanku sudah tidak terlalu kacau lagi, tapi karisma yang terpancar dari seorang Yusdiana sulit kutentang. Setelah agak lama terdiam, akhirnya jawaban yang kuharap-harapkan itu mengalir juga, Bu Yusdiana bersedia menjadi objekku dalam tugas penulisan profil dosen ini. Ah! Dadaku melonjak hampir meledak karena bahagia yang tak terhingga, tak kusangka begitu ringannnya beliau memberika izin padaku.
“Yakinlah Bu Yusdiana tu mau diwawancara, diakan orangnya emang suka becerita, kalo lagi ngomel sama mahasiswanya jak kayak sambil becerita”. Guyonan teman satu angkatanku, Herianti, ketika kuutarakan kekhawatiranku untuk wawancara dengan Beliau. Dan dugaannya itu tepat. Walau kesibukan dan jadwalnya sedang menggelembung, beliau tetap bersedia menyediakan secuil waktunya untuk memberiku kesempatan wawancara.
***
Yusdiana, itu nama kecilnya. Baginya nama adalah doa dan harapan dari orang tua yang tak mungkin tergantikan. Lahir dari keluarga yang biasa-biasa saja, tidak bermarga dan tidak pula berkasta. Dengan Ayah yang bernama Syafiudin, seorang keturunan Melayu Banjar yang bekerja di sebuah perusahaan kayu bagian keuangan, dan Ibu yang bernama Yasirah, keturunan Jawa tulen, bekerja sebagai pegawai negeri sipil (PNS) di Polda. Kehidupan ekonomi yang biasa-biasa membuat Yusdiana kecil belajar untuk hidup mandiri, tidak terlalu bergantung pada orang tua. Mengerjakan pekerjaan rumah membantu ibu yang sangat dia sayangi adalah hal yang biasa baginya. Hingga kini kemandirian itu masih dia tanamkan pada dirinya sendiri, bahkan dalam kehidupan rumah tangganya. Mengurus anak hingga pekerjaan rumah yang begitu merepotkan, dia kerjakan tanpa bantuan seorang pembantu rumah tangga satu pun, belum lagi ditambah pekerjaan tetapnya sebagai dosen sekaligus Ketua Jurusan Tarbiyah di STAIN Pontianak, yang kesibukannya tidak mungkin bisa diabaikan begitu saja. Namun semua itu tetap dia coba untuk nikmati.
“Untung saja keluarga ibu bisa memahami semua kesibukan yang ibu hadapi setiap harinya, jadi suami dan anak-anak ibu kalo di rumah selalu mambantu pekerjaan rumah yang mereka bisa. Kerja sama, itu yang selalu ibu tekankan pada mereka”. Katanya menjelaskan dengan mata yang sedikit berbinar, sambil sesekali berkonsentrasi pada handphonenya yang hampir setiap menit menjerit meminta diperhatikan tuannya. Maklumlah, beliau termasuk orang yang terletak di jajaran atas dalam struktur lembaga STAIN Pontianak saat ini.
Dosen yang dikenal mahasiswanya sebagai dosen yang sangat perhatian pada segala hal mengenai anak didiknya ini lahir di Pontianak empat puluh tahun silam, tepatnya pada tahun 1970 tanggal 24 April, dan lahir sebagai anak pertama dari dua bersaudara yang semuanya berjenis kelamin perempuan. Karena itu kedua orang tuanya sedikit memberi perhatian ekstra, terutama dalam hal lingkungan pergaulan dan sekolah. Sekolah yang dipilih untuk Yusdina kecil menuntut ilmu semuanya berbau Islami. Jejak pertama di bangku sekolah dasar dipercayakan di Madrasah Ibtidaiyah Swasta Bawari Pontianak pada tahun 1975 dan selesai pada tahun 1982 dengan prestasi yang cukup memuaskan.
“Ibu nggak pernah kenal yang namanya TK, makanya waktu masuk SD juga masih muda banget, zaman dulu kan belum ada ketentuan umur untuk masuk SD, nggak kayak sekarang”. Begitu jelasnya, matanya terlihat menerawang jauh mengingat masa lalu. Lalu segaris senyum tipis terukir dibibirnya, aku pun tak tahu hal apa yang membuat Bu Yusdiana tersenyum seperti itu. Kulanjutkan bagian pertanyaanku yang berderet panjang. Aku takut waktu Bu Yusdiana tidak panjang lagi untukku, mengingat kesibukannya yang menggunung.
Setelah selesai, dilanjutkan di Madrasah Tsanawiyah Negeri 1 Pontianak hingga tahun 1985, dulu sekolah itu belum semegah sekarang, sebagian halamannya masih ditumbuhi ilalang yang terkadang mengusik ketika siswa-siswinya berlari melintasi halaman. Seperti ketika di sekolah dasar, di jenjang pendidikan pertama ini Yusdiana yang mulai beranjak remaja tetap selalu mendapatkan nilai yang cukup memuaskan hingga bisa membuat kedua orang tuanya merasa bangga.
Dan berburu sekolah yang bernafaskan Islami tidak berhenti hanya sampai tingkat pertama, ditingkat menengah dipilihlah Madrasah Aliyah Negeri 1 Pontianak sebagai tempat menimba ilmu, terutama ilmu tentang Islam. Tak banyak halangan yang dihadapi selama proses belajar itu, karena selain sekolah, Yusdiana remaja tak diizinkan untuk membantu mencari nafkah walaupun sebenarnya dia ingin.
“Orang tua Ibu memang berprinsip, selagi anaknya sekolah tak ada yang boleh membebankannya dengan hal apapun, seperti misalnya pacaran apalagi sampai ikut mencari nafkah, jadi ibu selain sekolah, pekerjaan lainnya hanya membantu di rumah beres-beres saja”. Katanya dengan tawa tertahan masih sambil berbagi konsentrasi dengan handphonenya. Entah siapa yang tak berhenti menghubunginya itu. Sedang waktuku sudah semakin menipis.
Dan pada tahun 1988, selesailah perburuan ilmu di tingkat menengah itu. Di titik ini, kebingungan dan kebimbangan mulai melanda, keinginan untuk terus melanjutkan petualangan mendaki ilmu sambil berhijrah ke pulau seberang menemukan jurusan kuliah yang diinginkan mendapat tantangan keras dari kedua orang tuanya dengan alasan yang sulit dibantah.
“Mereka nggak mau jauh dari anak-anaknya, apalagi ibu hanya dua bersaudara. Kata mereka, kalo ibu mau lanjut kuliah ya harus sekitar Pontianak saja, waktu itu ibu sempat down”. Hening. Aku sibuk mencatat semua yang beliau ceritakan, agak sulit memang bagi penulis pemula sepertiku, hanya bisa dengan menulis tanpa ada alat rekam.
“Ada lagi yang mau ditanyakan?” tanya Bu Yusdiana melihatku diam, sibuk menulis sendiri dan tidak mengajukan pertanyaan-pertanyaan lagi. Aku bergeragap terkejut.
“Masih ada Bu, banyak malah. Maaf ya bu kalo kelamaan, soalnya emang informasi yang didapat harus sebanyak-banyaknya”. Jawabku sambil menyeringai tak nyaman yang dibalas dengan anggukan kepala oleh Bu Yusdiana. Kulirik daftar pertanyaan di catatanku, masih begitu banyak yang belum ku ‘ceklis’, itu tandanya masih banyak pula pertanyaan yang belum kusampaikan. Kulanjutkan kembali wawancaraku yang sempat tertunda.
Akhirnya setelah melewati musyawarah keluarga, diputuskan Yusdiana yang kala itu mulai dewasa mendaftar kuliah di IAIN Pontianak Fakultas Tarbiyah, Program Studi Pendidikan Bahasa Arab. Yaitu kampus yang sekarang menjadi STAIN Pontianak. Hobinya pada mata pelajaran Al-Qur’an Hadits saat dibangku sekolah dan cita-citanya yang ingin menjadi seorang hafizd Qur’an membuatnya tertarik pada jurusan itu.
“Ya, seenggaknya nggak bisa masuk jurusan yang diinginkan, bisa masuk yang agak nyerempet-nyerempet sedikit”. Candanya sambil seperti menghibur diri sendiri. Dan Tuhan memang tahu hal apa yang terbaik bagi umatnya, tidak semua yang kita anggap baik untuk kita baik juga di mata Allah. Itu juga yang dirasakan oleh Yusdiana.
Awal-awal menjadi mahasiswa adalah saat-saat yang sangat mengesankan bagi jiwa muda Yusdiana. Menjadi salah satu diantara dua bidadari di kelasnya adalah hal yang paling tak terlupakan dalam memorinya.
“Di kelas ibu, Bahasa Arab, itu perempuannya hanya dua orang, itu pun gak lama, ditengah-tengah tahun kuliah, teman ibu pindah ke luar daerah, jadi akhirnya hanya ibu yang jadi penghuni paling cantik di kelas”. Tawanya mengiringi cerita itu.
Hal lain yang paling membuat terkesan adalah ketika bergelut dengan tugas-tugas kuliah yang menumpuk ditambah dengan aktivitas menjadi anggota Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), menjabat sebagai bendahara umum sehingga lumayan menyita waktu bebasnya, namun mampu menorehkan kepuasan hati yang tak terungkap.
“Ibu juga heran, dari MTs di kegiatan OSIS, di MAN juga, sampe kuliah S1 di STAIN, selalu menjadi bendahara, ibu juga nggak tahu sebabnya”. Keheranan itu kembali dia tunjukan padaku, aku hanya tersenyum menanggapi. Aku terlalu sibuk mencatat, tak sempat menanggapi dengan kata-kata. Sementara beliau melanjutkan ceritanya.
Hari berganti, bulan pun mengiringi pergantian itu, perubahan telah terjadi di setiap hela nafas yang dihembuskan, kesibukan demi kesibukan telah Yusdiana lewati. Hingga suatu ketika terjadilah peristiwa penting itu, peristiwa yang akan membawa perubahan besar dalam kehidupan Yusdiana, peristiwa yang akan menjadi masa depannya, peristiwa yang membuat Yusdiana tak bisa memejamkan mata barang sekejapun ketika malam mulai menjalankan tugasnya, peristiwa yang juga membuat bibir Yusdiana tak berhenti tersenyum bila mengingatnya. Peristiwa pertemuan dengan pria itu. Ya, pria itu. Pria tinggi besar. Pria cerdas dan sangat mempesona di matanya. Pria yang telah menelusupkan getar-getar menakjubkan dalam dadanya. Pria yang hingga kini mendampinginya dalam sebuah ikatan perkawinan. Teman satu angkatan kuliah, satu jurusan, namun berbeda program studi. Pria itu kuliah di program studi Pendidikan Agama Islam. Hariansyah namanya. Dan pada Hariansyah, Yusdiana muda jatuh cinta. Gayung pun bersambut, cinta itu pun dirasakan pula oleh Hariansyah. Dan terciptalah sebuah komitmen serius antara keduanya.
“Ibu juga gak tau gimana ceritanya kok bisa dengan pak Ian, apalagi kalo soal tanggal jadian yang sering diributkan anak-anak zaman sekarang. Soalnya anak zaman dulu kan kalo pacaran gak kayak sekarang, sana-sini jalan berdua, ibu dulu mana berani kayak gitu, paling-paling ketemu ya di kampus aja, itu pun liat dari jauh. Dan ada satu hal lagi yang lucu sekali pada saat itu, angkatan ibu yang cinlok ada tiga pasang, dan semua akhirnya menikah sampai hari ini, kalau ada waktu pasti ibu sempatkan untuk menghubungi mereka, bernostalgia mengingat masa lalu”. Tutur dosen yang saat ini telah mengampu mata kuliah Psikologi Pendidikan dan Psikologi Perkembangan itu dengan wajah bersemu merah. Cinta itu terpancar deras dari matanya.
“Cintaku Bersemi di Bangku Kuliah”, judul itu mungkin cocok bila kisah ini di filmkan atau dibuat menjadi sebuah novel. Tuhan telah mempertemukan Yusdiana dengan jodohnya itu di tanah Kalimantan. Ya, Kalimantan, bukan Jawa, bukan Sumatra, dan bukan pula Jakarta. Tuhan telah menjawab semuanya, menjawab penolakan atas do’a Yusdiana dahulu ketika dia berniat untuk melanjutkan kuliah S1 di pulau seberang, Jawa. Setiap peristiwa yang terjadi, pasti selalu ada hikmah yang mengiringinya. Begitu falsafah para orang bijak.
Kisah cinta itu terus bergulir mengekori waktu, menciptakan hari-hari penuh tawa dan semangat untuk melakukan yang terbaik dalam setiap langkah yang ditapakkan. Tanpa terasa kerja keras itu hampir mencapai finish. Pontang panting mengerjakan tugas-tugas kuliah, mengejar nilai terbaik, hingga mulai menyusun skripsi telah terlewati. Hingga saat yang paling ditunggu-tunggu itu tiba. Wisuda di depan mata. Titik air mata kelelahan namun penuh kepuasan akan diteteskan hari itu. Dan kerja keras selama perjalanan penuh liku akhirnya terjawab sudah. Pada tahun 1993 Yusdiana dinyatakan lulus dengan predikat Lulusan Terbaik dari Program Studi Pendidikan Bahasa Arab. Dan yang tak disangka, Hariansyah, pria yang telah mengenggam hatinya, juga dinyatakan menjadi Lulusan Terbaik dari Program Studi Pendidikan Agama Islam. Bahagia itu tak terperi, sujud syukur tak dilupakan, air mata bahagia tak mampu dibendung, apalagi melihat bening mata kedua orang tuanya yang berkaca-kaca menahan haru dan bangga. Benar-benar ribuan rasa syukur tak akan bisa mewakili semua yang telah Tuhan beri.
Dan kisah hidup itu tak berhenti sampai di situ. Tanggung jawab yang didapat dari sebuah pencarian ilmu kini dituntut untuk bisa menghasilkan kehidupan yang lebih baik dan bermakna. Beruntung nasib baik sedang memihak, berkat menjadi lulusan terbaik di Program studinya, tak lama Yusdiana langsung diminta untuk menjadi asisten dosen di STAIN Pontianak. Tidak mudah memang, tapi semuanya tetap harus dicoba.
Tidak adil bila kita meninggalkan begitu saja kisah tentang calon suami tokoh utama dalam cerita ini. Hariansyah. Karena kebetulan keduanya berada pada jalur hidup yang sama semenjak masuk di bangku kuliah. Yah, tidak jauh berbeda dengan yang dialami Yusdiana, tidak lama setelah kelulusan itu, bersama-sama dengan Yusdiana, Hariansyah pun diangkat oleh salah satu dosennya sebagai asiaten pula. Dan jadilah keduanya mengabdi di kampus yang selama ini menjadi saksi tempat keduanya menuntut ilmu dengan kerja keras, saksi tempat keduanya menemukan sejuknya cinta sepasang manusia, menemukan betapa besar kuasa Tuhan atas nasib makhluknya.
Kisah kasih yang dijalin itu semakin terajut erat seiring berjalannya waktu, apalagi ditambah merasa senasib sepenanggungan. Dan akhirnya perjuangan serta kerja keras itu berbuah manis, pada tahun 1994 STAIN Pontianak yang pada saat itu bernama Institut Agama Islam Negeri Syarif Hidayatullah Cabang Pontianak mengadakan Pengangkatan Pegawai dan Dosen. Dan lagi-lagi bersama-sama, Yusdiana dan Hariansyah diangkat menjadi Dosen tetap di Jurusan Tarbiyah Program Studi Pendidikan Agama Islam. Syukur itu terulang lagi, haru dan bahagia tak bisa disembunyi. Kerja keras itu sepertinya telah terbayar sudah.
“Ibu juga nggak tahu ngapa orang STAIN milih ibu di Prodi PAI, bukannya bahasa Arab. Ditambah lagi ibu sama sekali nggak punya basic jadi seorang guru, apalagi guru PAI. Tapi ya nggak apa-apalah. Kuncinya kita harus tekun dan yakin, kalo kita udah menjalankan dua prinsip itu, apapun yang kita lakukan insya Allah pasti berhasil”. Jelas ibu yang gemar memasak dan olahraga ini memaparkan pendapatnya.
Kini menjadi seorang dosen memang telah menjadi jalan hidupnya, aktivitas itu selalu dia jalani setiap hari. Dari bergelut dengan mahasiswa yang beragam, sampai soal nilai yang selalu ditagih oleh mahasiswa yang menjadi didikannya. Semua itu tak pernah dia lewatkan setiap harinya. Juga mengenai hubungannya dengan Hariansyah yang semakin mengarah pada tingkat keseriusan yang tinggi.
Dengan Hariansyah, tujuh tahun melewati hari bersama, suka duka mewarnai liku jalan kisah cinta mereka, percintaan yang hanya berani mencuri tatap dari jauh, cinta yang menciptakan kerja keras untuk keberhasilan di masa depan, akhirnya berujung pada sebuah kebahagiaan merajut tali pernikahan untuk menyatukan sebuah komitmen bersama membentuk keluarga. Peristiwa penting itu terjadi setahun setelah pengangkatan keduanya menjadi pegawai tetap di STAIN, yaitu pada tahun 1995.
“Setelah tujuh tahun ‘berteman’, tahun 1995 ibu nikah dengan bapak. Orang tua ibu setuju walaupun sebenarnya sempat ditentang dengan orang-orang sekitar, karena di mata mereka bapak bukan siapa-siapa, apalagi orang yang bisa disebut mapan, tapi ibu nggak peduli, karena ibu yakin bapak adalah yang terbaik untuk ibu. Dan hal yang paling ibu kagumi dari bapak adalah motivasinya untuk maju itu nggak pernah putus.” Kenang dosen yang paling takut membantah orang tua itu dengan raut wajah sumringah. Kenangan indah itu sepertinya tengah melintas kembali di ingatannya. Tak kuputus cerita itu.
Keluarga yang dibina atas dasar cinta itu berjalan dengan mulusnya, walau terkadang sesekali percekcokan ringan menjadi sandungan kecil yang tak lama akan terlupakan dengan sendirinya. Dan kebahagiaan itu terasa lengkap ketika tak lama kemudian akan ada calon penghuni bumi baru yang menjadi tumpuan harapan keduanya dinyatakan hadir di rahim Yusdiana. Titipan Tuhan itu benar-benar mereka syukuri dan jaga, selalu terselip disetiap do’a yang dipanjatkan, dan selalu hadir di rekah senyum keduanya.
Namun Tuhan berkehendak lain, kebahagiaan itu tak lama. Cobaan datang tanpa disangka, menelusup menghitamkan semua kebahagiaan yang sedang dirasa. Kandungan Yusdiana divonis mengalami kelainan oleh dokter. Luluh lantak, porak poranda perasaan Yusdiana dan Hariansyah mendengar berita duka itu.
“Siapa coba yang nggak stres dengar berita kayak gitu, lagi senang-senangnya tiba-tiba dijatuhkan. Dan hanya ada dua pilihan, kalau ibu tetap mempertahankan calon bayi itu, bisa dipastikan lahirnya cacat karena di rahim ibu ada semacam virus yang bisa memakan calon janin, makanya harus dilakukan pengobatan terlebih dahulu sebelum hamil. Pilihan kedua juga sangat sulit untuk ibu. Aborsi. Walaupun aborsi yang ibu lakukan atas izin dari pihak kedokteran karena alasan kesehatan tapi tetap ibu takut melakukannya. Saat itu ibu dengan bapak benar-benar bingung, hanya bisa istikharah sebelum ngambil keputusan”. Kenang Bu Yusdiana dengan kesedihan yang tak disembunyikan. Aku jadi merasa bersalah telah mengungkit masalah itu. Tapi ada sedikit penasaran dalam hatiku mengenai kelanjutan ceritanya.
“Jadi akhirnya ibu ngambil keputusan apa?”. Tanyaku menyelidik sambil siap-siap mencatat semua cerita itu di bukuku.
“Setelah diskusi dengan bapak dan keluarga, akhirnya ibu memilih untuk aborsi. Berat memang, tapi itu adalah pilihan terbaik menurut keputusan bersama. Daripada anak itu lahir cacat ditambah membahayakan nyawa ibu juga, akhirnya keputusan itu yang ibu ambil. Dan Ibu harus menjalani terapi dan pengobatan dulu sebelum hamil”. Bu Yusdiana menjawab pertanyaanku dengan lebih santai kali ini, sepertinya sudah lebih bisa menguasai dirinya.
Yah, begitulah jalan Tuhan untuknya, pasang surut kehidupan pasti akan selalu dihadapi setiap manusia. Walau awalnya tidak rela harus melakukan sesuatu yang bertentangan dengan keinginannya, tapi semua itu coba mereka hadapi dengan ikhlas. Kejadian itu sempat membuat keluarga kecil itu mengalami sedikit badai, kesedihan meliputi hari-hari mereka.
Dua tahun setengah penantian itu, waktu yang sangat lama bagi keluarga yang sudah mendambakan kehadiran seseorang yang bisa menjadi penawar rasa lelah ketika keletihan mendera, seseorang yang bisa menciptakan senyum ketika kesedihan menghampiri, seseorang yang bisa menenangkan hati melalui sorot matanya yang bening dan polos.
Tapi Tuhan maha adil, Dia memberikan sesuatu kepada hambanya sesuai dengan usaha yang dilakukan. Dalam kesedihan itu, Yusdiana dan Hariansyah tidak hanya berpangku tangan menerimanya, segala daya upaya dan usaha dilakukan, pengobatan dan terapi dijalani, do’a tak pernah putus dihaturkan demi kesembuhan yang diharap-harapkan itu. Dan Tuhan menjawab segalanya. Jeda dua tahun setengah dari pernikahannya, Yusdiana dinyatakan hamil kembali oleh dokter, dengan kondisi kehamilan yang sehat. Kembali syukur itu tak terbendung.
“Ibu senang sekali dengar berita itu, semua itu terjadi setelah penantian yang benar-benar panjang”. Binar cerah mengalir dari mata Bu Yusdiana saat menceritakan hal itu. Aku turut tersenyum mendengarnya, seakan aku juga ikut merasakan kebahagiaannya saat itu.
Dan pada tahun 1998 lahirlah buah hati pertama mereka, seorang putri yang sangat lucu serta sehat wal’afiat tidak kurang satu apapun yang diberi nama Zafira Dzurahma Ramadhani, lahir pada bulan Ramadhan, bulan penuh berkah. Menguap sudah kesedihan dan ketakutan yang pernah dirasakan keduanya. Hari-hari mereka kini dipenuhi raung tangis bayi yang malah membuat keduanya tertawa bahagia. Serasa sempurna kebahagiaan itu sekarang.
Tuntutlah ilmu walau sampai ke negeri Cina. Ungkapan Nabi Muhammad ini sepertinya yang menjadi nyawa dalam prinsip hidup seorang Yusdiana. Tak puas mereguk ilmu hanya sampai Sarjana Pendidikan. Di tengah-tengah kesibukannya di kampus dan keluarga, dia berniat melanjutkan pendidikannya ke jenjang lebih tinggi, S2. Dengan keinginan yang keras dan dukungan dari keluarga akhirnya Yusdiana melaksanakan niatnya, dan kali ini pun kepergian menuntut ilmu itu dilakukan bersama-sama suami tercinta. Tekad yang kuat telah membawa Yusdiana dan Hariansyah terdampar di Universitas Indonesia bagian Psikologi Pendidikan.
Tahun 2002 Yusdiana beserta suami selesai menjalani masa-masa pendidikannya, banyak kejadian yang mereka alami selama proses itu. Tahun 1999 bulan September, kurang lebih setahun setelah kelahiran anak pertama, Yusdiana melahirkan anak kedua dengan jenis kelamin yang sama, perempuan, diberi nama Shaquila Aura Khalyla. Tak lama kemudian disusul lagi dengan anak ketiga yang lahir pada tahun 2001 bulan Agustus dengan nama Shahfarhan Irfanul Fikri, kali ini seorang putra yang gagah. Kesabaran benar-benar dituntut pada masa itu. Tanggung jawab di STAIN Pontianak yang tidak mungkin ditinggalkan, pendidikan yang sedang dijalani yang tak mungkin diabaikan, dan keluarga yang juga harus mendapatkan perhatian ekstra. Semuanya adalah beban yang tidak ringan untuk dipikul di waktu yang sama.
Dosen yang mempunyai moto hidup ‘Masalah hari ini, selesaikan hari ini!’ itu pernah juga mengalami kehidupan ekonomi yang sempat menjadi masalah saat Yusdiana berada di pulau seberang, menghidupi tiga orang anak dan ditambah lagi dengan biaya pendidikan dia beserta suaminya yang tidak sedikit membuatnya harus bisa menerikan ikat pinggang sekuat mungkin. Bantuan dari STAIN Pontianak yang tidak begitu besar hanya mampu membantu untuk sementara. Selebihnya Yusdiana berusaha dengan keringatnya sendiri, tentu saja dengan bantuan suami. Keduanya pernah meminta bantuan dana pada Menteri Agama, namun itu juga belum mampu menutupi kekurangan yang mereka alami.
“Ibu ingat pengalaman yang tak terlupakan berdua dengan bapak waktu lagi belajar di UI, ibu dan bapak hari itu hanya megang uang lima ribu rupiah, benar-benar hanya lima ribu. Kebetulan hari itu memamg lagi puasa, jadi pas buka kami berdua beli nasi satu bungkus dan dimakan berdua, dan sahurnya hanya makan kerupuk dan segelas air, sedih rasanya kalau ingat hari itu, tapi ya Alhamdulillah, hasil kerja keras itu bisa dinikmati sekarang”. Kenang Bu Yusdiana sedikit menggurat segaris senyum kesedihan. Tapi tak lama, wajah itu kembali cerah.
Setiap kenangan, senang maupun sedih akan selalu menjadi pelajaran bagi orang-orang yang berpikir. Dan mengambil pelajaran dari pengalaman yang telah lalu adalah hal yang paling bijaksana. Itu juga yang menjadi pesan disaat akhir wawancaraku dengan Ketua Jurusan Tarbiyah yang selama lima tahun ini tinggal di Jalan Husain Hamzah Pal V Komplek Mandai Lestari Permai No. B 19 itu dengan harapan yang besar.
“Ibu senang liat mahasiswa yang sibuk ikut organisasi, itu penting untuk kematangan jiwanya, tapi jangan sampai mengkambinghitamkan organisasi itu dengan bermalas-malasan kuliah sampai nilainya anjlok semua dan lulusnya bertahun-tahun. Mumpung kalian sekarang bisa dengan mudah belajar. Apalagi yang kerjanya hanya kuliah, nggak diganggu sama kerjaan. Benar-benarlah kuliahnya”. Pesan bijak Ketua Jurusan yang baru diangkat tahun 2010 itu untuk seluruh anak didiknya.
Dan kini Yusdiana hidup mapan, tenang dan tentram. Sekarang anak-anaknya sudah mulai beranjak remaja, dia sendiripun saat ini mulai sibuk dengan tambahan kerja sebagai Ketua Jurusan, dan suaminya, Hariansyah, atau yang biasa lebih dikenal mahasiswa STAIN Pontianak dengan panggilan Pak Ian atau Maikel juga sedang sibuk melanjutkan studi S3 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang difokuskan bagian Psikologi Agama.
Akhirnya wawancara hari itu selesai, kisah itu sangat membekas di hatiku, banyak pelajaran yang bisa kuambil dari semua perjalanan yang telah seorang Yusdiana lewati. Setiap usaha yang dilakukan pasti akan mendapat hasil yang setimpal, kerja keras dan tekun serta do’a yang tak pernah dilupakan menjadi kunci utamanya. Ini adalah segelintir kisah yang bisa menjadi referensi bagi siapa saja yang mau berusaha merubah diri menjadi lebih baik mulai dari hari ini.
Kutinggalkan ruangan itu dengan hati luar biasa lega, tugas berat namun mengasyikan itu telah selesai kuemban. Tanpa terasa keringat dingin yang mengalir deras sebelum wawancara itu dimulai telah mengering dengan sendirinya, perutku juga sudah kehilangan rasa sakitnya, kakiku melangkah dengan damai keluar dari ruangan. Senyum manis kutebar di mana-mana, maklumlah hatiku sedang lega. Kutemukan sahabat ‘gila’ku berada di lorong depan ruang itu tengah menatapku heran.
“Lagi senang jak nampaknya ni? Jangan senang lok, baru wawancara tu, belum mulai garapnya, sedang gak peningnya tu!”.
Deg! Kejam kata-kata itu di telingaku, dia menakut-nakutiku. Senyumku memuai dengan kilat. Arrrrrgghhh....., hatiku kebat-kebit, kutambah gas kakiku untuk berjalan, kutinggalkan sahabatku yang bengong melihat ekspresi diamku. Dalam pikiran hanya satu kata yang terlintas untuk tulisan yang akan kugarap itu.
“Kebuuuuuuuuuuuuuttttt...........!!!!” (TembangJadulScout)NB: Tugas nulis profil dosen dari Club Menulis STAIN Pontianak

Sabtu, 30 Oktober 2010

"Aku MElihat Mimpiku"

Jum'at, 30 Oktober 2010. Pagi yang tak begitu sempurna. Pagi yang tak menciptakan senyum cerah pada pada kebanyakan orang. Matahari begitu enggan berbagi hangatnya. Dingin. Hujan pun tak begitu gemuruh menebar rintiknya, hanya berupa tetesan tipis nan lembut yang membuat makhluk hidup di bumi begitu malas bergelut dengan riuhnya gerak tubuh. Pagi itu suasana begitu datar. Tawar.
Karena suatu tanggung jawab, kupaksakan diri memacu tubuh di atas kendaraanku, perlahan. Begitu sulit ikhlas itu menghampiri hatiku. Sampai pada episode perjalanan yang dipenuhi batu nisan pada sebagian kiri ruas jalan. Mataku terpaku lama pada satu titik. Tiba-tiba sejulur rasa hangat menjalar kilat memenuhi ruang hatiku. senyumku merekah di pagi tak bersahabat itu. Aku melihat satu dari jutan mimpiku disitu. Ah, Tuhan sedang bermain-main denganku......
Dipagi sedingin itu, dipagi sedatar itu, dan dipagi setawar itu, kulihat sepasang kekasih berjalan perlahan, beriringan, bergandengan tangan, ditemani guliran air hujan di kening dan dekapan tangan yang saling berkaitan itu. Mesra. Tercipta senyum yang begitu gurih dan renyah pada bibir kedua pecinta ulung itu. Kuhentikan sejenak kendaraanku agar bisa menyaksikan kisah cinta iu lebih lama.
Aku iri. Bukan. Bukan karena tangan yang saling berkaitan itu aku iri, juga bukan karena senyum gurih dan renyah itu, bukan pula karena kaki yang berjalan beririgan serentak.
Tapi pada cinta yang tercipta diantara rambut yang telah memutih tua, diantara kerut wajah yang mulai penuh bergelayut, diantara kulit yang telah mengendur dimakan usia, dan diantara langkah kaki yang tak kokoh lagi berjalan, melangkah perlahan, satu demi satu, bergandengan, saling menguatkan. Dan mata saling memandang saat berbicara sarat makna cinta. Malaikat hujan benar-benar menabur cinta diantara keduanya. Aku iri. Benar-benar iri.
Aku bertanya pada Tuhan. "Tuhan, kisah inikan mimpiku dan 'dia' yang ku tak tahu siapa suatu saat nanti? Kenapa hari ini harus kau tunjukan padaku?". Tuhan menjawab hanya dengan senyuman......
Yah...ditengah tetes lembut hujan hari itu, ditengah pagi yang begitu datar dan tawar itu.....Aku melihat satu dari jutan mimpiku. Seluruh tubuhku menghangat. (TembangJadulScout)^_^'

Kamis, 28 Oktober 2010

"Mereka"

Mereka....,,apa yang bisa ku ceritakan tentang mereka???entahlah....
Senyum cerah itu, melenyapkan berjuta rangkaian kata yang ku cipta hanya untuk mereka, menyisakan segudang rasa manis yang tersisa di setiap celah tawa dan do'a yang kuhaturkan yang juga hanya untuk mereka.....
Mereka....,,apa yang bisa ku beri untuk mereka???mungkin tak ada....
Malah tangan ini yang selalu menengadah memohon rasa bahagia yang selalu mereka hamparkan disetiap hela nafas menyejukan yang mereka hembuskan.
Ah.....apa yang bisa ku ceritakan tentang mereka?????Mereka,,,'anak-anak sanggar Pramuka STAIN Pontianak' (TembangJadulScout)

Selasa, 26 Oktober 2010

"Kisah Tentang Negeriku"

Kisah ini tentang negeriku…
Negeri antah berantah di pojok bumi..
Yang mudah terlupa karena ia biasa…
Yang berada di barisan terbelakang karena dianggap tak begitu guna….
Tapi sepertinya tak semua menganggapnya begitu..
Disudut sana,
Kulihat seorang bocah sedang membacakan puisi yang begitu puitis untuk negeriku ini…
Entah apa yang membuatnya begitu….
Sorot matanya…
Garis senyumnya…
Hentakan tangannya…
Kokoh tegak kakinya….
Rasa bangga itu memancar dari setiap organ tubuhnya…
Benar-benar banggakah Ia?
Atau….
Itu hanya sebuah sindiran????entahlah…..
"TembangJadulScout"

Minggu, 24 Oktober 2010

"Untuk Sahabatku"

Khawatirmu…
Cemasmu…
Air matamu…
Ceritamu…
Semuanya menandakan kau cinta dia sahabatku…
Senyum malu-malu bila menatapnya
Menjalin hubungan sebatas pesan singkat rahasia hanya dengannya
Pipi memerah bila mendengar cerita tentangnya
Melakukan apa yang dia inginkan, hingga rela menekan perasaan pribadi
Andai kau sadar…
Semuanya menandakan kau cinta dia sahabatku……(TembangJadulScout)

"Mencintaimu"

Mencintaimu…
Membuatku mampu berdiri tegak membusungkan dada
Mencintaimu…
Membuatku mampu meredam emosi yang terkadang bergelora
Mencintaimu…
Membuatku mampu berkata sanggup walaupun sebenarnya ku ragu
Mencintaimu…
Membuatku bisu tak mampu berucap walau padamu
Mencintaimu…
Seakan datang seribu genderang tabuh yang membuat riuh sebelah hatiku
Meski karena mencintaimu…
Aku jatuh menahan cemburu
Aku sakit bila tak melihatmu
Aku nelangsa merindukanmu
Meski karena mencintaimu, justru aku tak bisa berkata “Aku Cinta Padamu”…… (TembangJadulScout)

bingung_TembangJadulScout

Galau hati coba redam emosi
Namun tersendat hingga membuat sesak dan tersayat
Kini, Kemana lagi sakit ini dititipkan
Sedang dermaga Tlah berubah haluan
Diresapi aku tak berdiri
Diacuhkan, perih ini tak bisa dibohongi
Dua arah menuntutku liar
Tetap berdiri membusungkan jati diri meski tercabik
Atau, melangkah pergi menyisakan kehampaan yang tak ada arti….

“ISLAM DAN MENULIS” By. Lusi Fontiani (TembangJadulScout)

Menapak tilas dari sejarah turunnya ayat demi ayat dalam Al-Quran, kita dapat menemukan betapa pentingnya menulis dalam lingkup ajaran Islam, bahkan menjadi salah satu hal utama yang akan membawa Islam menjadi agama eksis, agama yang selalu hidup di setiap celah kehidupan di belahan dunia manapun. Umat Islam mana yang tidak tahu bahwa surah pertama yang diturunkan adalah mengenai perintah membaca (Al-Alaq)? Diyakini, setiap penganut Islam pasti mengetahuinya. Membaca memang sangat penting, hingga surah ini menjadi surah pertama yang diturunkan Tuhan untuk menjadi perhatian umatnya dan menjadi bahan pemikiran yang memberi banyak manfaat, tanpa membaca maka kehidupan tidak akan berkembang. Lalu mati.
Dan kemudian, tahukah anda? surah mengenai apalagi kah yang kemudian diturunkan Tuhan sebagai pesan sarat makna??? Yap! Selanjutnya surah kedua yang diturunkan adalah mengenai ‘pena’ (Al-Qalam). Surah ini mengisyaratkan agar bacaan yang telah merasuk disetiap sel darah kita, di curahkan menjadi sebuah tulisan melalui media pena. Dari surah ini, dapat kita ketahui, betapa seriusnya Islam memandang ‘pena’ atau tulisan sebagai salah satu cara kita mendekatkan diri pada sang pencipta yang Mahakarya. Tentunya bila apa yang kita tuliskan itu tidak membawa kemudharatan bagi yang khalayak pembaca.
Namun yang menyedihkan, bila ditilik ‘hari ini’, pesan Tuhan dalam surah kedua itu sepertinya tak begitu selaras dengan kenyataan, baik di Indonesia, maupun di negeri-negeri muslim dibelahan dunia sana. Dalam bukunya yang berjudul Keajaiban Belajar, Yunsirno, seorang penemu metode belajar Kampoeng Jenius, juga salah satu ‘Pemuda Emas’ Kalimantan barat ini menginformasikan bahwa dari total 260.000 artikel yang diterbitkan setiap tahun tentang riset sains, hanya sekitar 1% diterbitkan di Negara-negara muslim. Untuk penerbitan buku, di Inggris saja diterbitkan 2000 buku per 1 juta orang per tahun. Sedangkan di Mesir hanya 20 buku. Sementara itu sejak 1982, untuk setiap 1 juta penduduk per tahun dunia Arab menghasilkan 40 judul. Padahal jumlah buku rata-rata yang diterbitkan dunia adalah 162 judul. Setiap tahun dunia Arab menerjemahkan 330 buku. Jumlah itu hanya 1/5 dari jumlah yang diterjemahkan oleh negara kecil Eropa, Yunani saja. Sedangkan Spanyol menterjemah sekitar 100.000 buku pertahunnya. Nah, miris bukan???
Begitu terbelakangnya Islam dalam dunia kepenulisan, padahal pesan itu sudah jauh bercokol di dalam kitab suci kita, Al-Qur’an. Namun untuk terus meratapinya juga adalah hal yang sangat bodoh. Sekarang. Yah, mulailah dari sekarang. Kita masih bisa memperbaikinya, mengejar ketertinggalan kita. “Jangan berharap kita dapat menulis dalam semalam dan menghasilkan karya yang bisa diterima secara instan oleh banyak orang” itu kata seseorang yang menjadi inspirator penulis. Bukankah untuk mencapai 100 km kita harus mencapai 10 km dulu?
Menulislah itu memang tidak gampang, maka mulailah belajar menulis dari hal yang paling kau anggap mudah untuk dijadikan sebuah tulisan. Tulislah apa yang ingin kau tulis! Jangan menulis saat hatimu sedang menolak untuk menulis. Karena menulis itu pekerjaan hati, yang dikirim ke otak, dan di curahkan melalui tangan yang ikhlas sedikit menegangkan syaraf-syarafnya. Tulisan itu, bukan hanya ratusan rangkaian kata yang menjelma menjadi puluhan halaman kertas, satu kalimat dari beberapa rangkaian kata pun, itu disebut…tulisan! Tulisan itu, tidak hanya berupa, puisi, cerpen, artikel, apalagi novel! Curahan hati yang kau goreskan di buku diarimu juga merupakan awal sebuah…Tulisan!
Bagaimana? Siap untuk menulis bukan? SEMANGAT!!!^_^’

“TRIMAKASIH HADIAHNYA YA…!” By. Lusi Fontiani (TembangJadul Scout)

“Ya Tuhan, Dia datang lagi! tak ada hal lain, pasti dia akan mengawiniku lagi. Nggak! Ini nggak boleh terjadi, habis aku!”. Aku mengkerut. Merinding.
Mata nyalang penuh ancaman itu menatap tajam kearahku, liukan tubuhnya saat berjalan seakan juga siap menerjang tubuh lemahku ini. Aku semakin mengkerut, aku panik. Pucat. Otakku berputar kencang. Mataku melirik kekiri, melirik kekanan, mencari celah kalau-kalau aku bisa menyelinapkan diri tanpa dia bisa menggapaiku. Ada! Itu disebelah kananku, aku yakin aku bisa melewatinya, sedang dia tidak. Tubuh tambun itu akan menghalangi gerak tubuhnya. Dan kemudian, dengan gerakan kalap, secepat kilat ku mulai pelarian ini, sedikit kulirik kebelakang, dia juga mulai kalap melihatku mencoba melarikan diri. Aku panik lagi, lebar langkah kakinya dua kali lipat dibandingkan aku, aku tertangkap, tidak! Kupejamkan mata, “Tuhan, tolong bantu aku”, rintih hatiku kecut, Dan 1…2…3…Hup!. Yakh! Lolos. Yes! Hari ini aku selamat lagi. Kulirik lagi kebelakang, kali ini dengan tolehan penuh. Hahay! Lihat kawan, benar dugaanku bukan? Tubuh tak proposional itu tak mampu melewati jebakan dadakanku. Tubuhnya terhimpit. Kutinggalkan dia dengan senyum kemenangan, sedang dia menatapku lebih nyalang, lebih ganas dari sebelumnya, tak urung aku bergidik juga dibuatnya.
Terengah nafasku ketika sampai di halaman rumah, letih berlari dari kejaran si bajingan tengik itu, situkang kawin tak tahu malu!. Mendidih hatiku mengingat kejadian yang barusan ku alami. Ribut, bising, dan hiruk pikuk keadaan didalam rumahku, ternyata ada yang sedang berkumpul. Tidak aneh! Rumahku itu memang selalu berisik setiap hari, kalau sepi, itu baru aneh! Tanpa basa-basi aku langsung masuk kedalam. Istirahat, hanya itu yang kuinginkan saat ini.
“Haaa…..datang gak akhirnya die ni, kite cari be dari tadi. Kemana jak kau ni, kalo dicari susah benar gak nemukannye”. Bimbang sumringah. Terlihat dari binar bahagia matanya saat melihatku. Aku hanya melirik malas kearahnya, sedikitpun tak berminat dengan ‘sesuatu’ yang sepertinya akan dia beritahukan padaku, aku capek.
“Tu lah kak bim, payah gak sekarang die ni, dikejar-kejar terus untuk diajak kawin, mana gak die hirau dengan kite ni, somboooong dah kawan”. Sendhel menimpali dengan ditambah senyumannya yang membuatku muak. Ugh! Apa-apaan sih mereka? Nggak tahu apa aku lagi tak ingin diganggu. Aku masih terdiam, tak berniat menjawab olok-olokan mereka. Menghabiskan waktu istirahatku saja. Aku langsung ngeloyor pergi, mencari tempat aman untuk beristirahat, aku tak mau istirahatku terganggu dengan hal apapun, apalagi celoteh kelompok penggosip itu. Hah!
“E…eh…nak kemanae? Bentar lah lok, kite bah belom selesai ngomong ni, tak sopan sekali kau ni dengan orang yang lebih tue!”
Tuh kan! Arrrgghhhh! Ada apa lagi sih sibimbang ni? Apa perlu ku hancurkan seluruh isi rumah biar dia tahu aku lagi tak ingin diganggu?!. Lagi-lagi tak kuhiraukan, kulanjutkan perjalananku yang tertunda dengan langkah yang semakin gontai, lelahku telah mencapai puncak.
“Astagfirullahaladziiiiiimm…..” Bimbang beristigfar menahan kesal, sementara aku semakin tidak peduli. Bimbang berdiri, aku melirik. Bimbang mulai melangkah kearahku, aku benci. Bimbang mendekat, mataku mulai berkunang-kunang. Bimbang menyeringai, tulang-tulangku serasa runtuh. Bimbang semakin mendekat. “berhenti!” perintahku tak terucap, hanya mampu didalam hati. “Ya Tuhan, apa lagi ini?seandainya kau izinkan, aku pengen pingsan ya Tuhan, aku….” Belum selesai doaku terucap, kurasakan tulangku benar-benar runtuh, terlepas satu persatu dari daging yang membalutnya, aku pingsan. Tuhan mendengar doaku. Sayup-sayup masih kudengar kericuhan para penggosip itu. Apa mereka mengkhawatirkan aku?. Ah, aku sepertinya terlelap.
“Hah? Ngapa die tu kak bim? Pingsan kah?”. Nada khawatir itu sepertinya suara Tungau. Dia memang selalu baik padaku. Tapi kenapa aku masih bisa mendengar dengan jelas percakapan mereka?aku kan sedang pingsan, tadi Tuhan mendengar do’aku kok. Atau, jangan-jangan aku tidak pingsan tapi lumpuh! Oh, Tidak! Kenapa bisa begini? Barusan kan aku sehat-sehat saja. Nggak mungkin! Ini pasti ada yang salah. Ku gerakan kaki, tidak terasa apa-apa. Kucoba buka mata, hanya gelap yang ada. Ah, tidak!
“Hah! Ndak mungkinlah pingsan, jawak jak be die tu, minta puji, paling gak kelaparan”. Suara sinis itu kembali datang dari Bimbang. Ya ampun, segitu bencinya kah dia padaku?. Lalu Terdengar suara berisik disebelah telingaku, piring beradu dengan kompor, sendok bertabrakan dengan panci, gelas-gelas berkelontangan menggelinding dilantai papan kotor itu. Benar-benar mereka tak pernah berhenti membuat keributan!.
“Nih, makan lok! Biar tadak lemas macam tu, macam tak pernah diperhatikan orang lain jak die ni”. Bimbang si sinis itu menyodorkan sepiring nasi! Yang benar saja? Semenit yang lalu dia kan benci padaku. Rasanya aku tak percaya, atau jangan-jangan nasi itu diberinya racun?!
“Makanlah, untung-untung orang masih perhatiaan nyiapkan barang tu, cerewet benar gak die ni dengan makanan, sikit-sikit tak mau, sikit-sikit tak mau! Dah lemah gitu baru rasa!”. Phenank angkat bicara, akhirnya dia pun mengomentariku juga. Dia kan orang yang paling tak suka padaku.
Sementara aku semakin letih mendengar komentar-komentar mereka yang tak menentu ditelinga, Bimbang mulai membuka mulutku mencoba menyuapkan sedikit nasi masuk kedalam kerongkonganku dengan perlahan dan lembut. Si sinis itu tak menyakitiku. Perlahan namun pasti, segumpal nasi itu melewati kerongkongan, terus masuk kedalam kantong bagian tempat penyimpanan makanan dalam perutku. Satu suap, dua suap, tiga suap. Tulangku kembali ketempatnya semula. Empat suap, dagingku terasa mulai membungkus lagi. Lima suap, kakiku sedikit bergerak. Enam suap, mataku mulai melihat setitik cahaya. Kesadaranku mulai pulih. Tapi kesadaran itu muncul seiring kantuk yang menyerang, lebih baik aku tidur. Terasa nikmat memulai mimpi dengan tenaga penuh.
“Dasar pemalas! Udah kenyang jak, lalu lah die….”. samar suara komentar kali ini, aku tak peduli siapa yang berkomentar, tak selesai aku mendengarnya. Kantukku lebih mendominasi. Selesai sudah kebisingan itu ditelingaku.
***
“Woiii…bangunlah! Dah berapa jam dah kau tidok ni, tak dibangunkan, lalu tak sadarkan diri lah die ni”. Suara itu dekat ditelinga. Kutebak suara Bimbang. Selalu. Aku menggeliat, segar. Kuseringaikan sedikit bibirku, bermaksud memberikan senyuman manis pada sisinis itu, yah, anggap saja sedikit balas budi karena menolongku mengembalikan tenaga yang hilang tadi. Setidaknya aku jadi tahu kalau aku tidak lumpuh, hanya kelaparan, kehabisan tenaga. Tapi yang aneh, si sinis itu, walaupun sering mengeluarkan nada suara yang tak enak ditelingaku, namun dia juga yang selalu menolongku disaat aku susah. Pernah ku berpikir, mungkinkah dia menyayangiku?.
Kubuka mataku penuh. Wajah Bimbang terpampang jelas. Sepertinya dia sedang membawa sesuatu ditangannya. Mata itu berbinar melihatku terbangun dari tidur. Ada apa lagi? Firasatku tak enak. Selalu saja aku berprasangka buruk pada mereka. Entah mengapa. Wajah-wajah itu selalu menampakan kejahilan yang tak ada habisnya dimataku. Senyumku berubah seringai wapada.
“Nih!,coba kau pakai”. Bimbang menyodorkan sesuatu ketanganku, yang lain hanya menatapku dengan senyum-senyum misterius. Sesuatu itu sepasang kain, coklat tua, coklat muda. Warna ini kan yang biasa mereka gunakan? Kenapa aku juga harus memilikinya?.
“Cepatlah kau coba, kalo ndak pas kan nti bisa dirombak lagi. Itu hadiah dari kame semua, kau kan hari ni ulang tahun, jadi kame buatkan baju tu. Jadi nanti kalo ada acara kau pun bise gak makai baju yang sama dengan kame-kame ni”. Bimbang kembali menjelaskan panjang lebar. Aku tercengang. Tak percaya. Aku ulang tahun? Kupandangi satu-persatu mata-mata yang dalam pandanganku sedang menatapku dengan hangat. Mata-mata pemilik komentar-komentar pedas tadi. Aku terharu, rasanya ingin kupeluk mereka bergantian, aku tak menyangka. Mereka ingat ulang tahunku. Sekali lagi aku tak percaya, pemilik komentar-komentar pedas itu menatapku dengan hangat.
“Eh…kelamaan benar gak die ni, kita be mau liat die pake baju tu”. Tak sabar encrut merampas baju itu dari tanganku. Aku mendelik tak senang. Cepat-cepat dia menggapai tubuhku. Slep! Melekat sudah coklat muda itu dibadanku. Aku senang tapi sedikit terasa tak nyaman dibadan. Kemudian Encrut mengambil yang coklat tua, sepertinya itu akan melekat dibagian bawah tubuhku. Namun….yang kali ini tak berjalan mulus seperti yang pertama, Sret! Ugh..sedikit tersangkut dilutut. Aku meringis. Sret! Encrut memaksa, sekarang coklat tua itu ada dipahaku. Aku mengerang. Sret! Sret! Sret! Tak berhasil. Aku meradang. Aku coba melepaskan diri dari pelukan erat encrut. Encrut melawan, aku lebih melawan.
“Ih, dah lah, serah kau lah!”. Akhirnya setelah melalui pergumulan yang panjang, Encrut mengalah. Yang lain? Mereka tertawa terbahak-bahak sampai memegangi perutnya. Aku mendengus kesal. Keharuan ku tadi hanya sesaat. Sambil masih memegangi perutnya, Bimbang memungut coklat tua yang terlempar didekat kakinya.
“Jangan marahlah, kalo tak nyaman dipakai, nanti dibetulkan agik”.
“Aok ai…gitu pun marah die ni”. Dukungan Kibau untuk pernyataan Bimbang.
Aku masih menatap pedas kearah mereka, ingin marah tak bisa, karena sebenarnya aku tahu, mereka bermaksud baik padaku. Kulihat Bimbang membongkar coklat tua itu, dengan teliti dia membentuknya kembali menjadi sehelai celana dengan ukuran yang berbeda, dan mulai manjahit dengan tangannya sendiri. Haru itu kembali menghampiriku. Biarpun kejahilan mereka tak ada hentinya, tapi ternyata hari ini mereka berkumpul untukku, membuatkan baju untukku. Ah, bila diingat-ingat, sebenarnya mereka tak pernah benar-benar menyakitiku, hanya terkadang kejahilan mereka melebihi batas, hingga selalu menimbulkan prasangka burukku untuk mereka. Pernah suatu ketika phenank mengalungi leherku dengan kunci motor temannya. Kunci itu terasa berat untuk ukuran leherku yang kecil, dan pernah juga leherku itu dikalungi tali yang hampir mencekik leher, aku hampir tidak dapat bernapas dibuatnya, itu ulah kibau. Dan masih banyak lagi kejahilan-kejahilan yang mereka lakukan padaku yang membuat dengusan napasku memburu karena kesal.
Tapi diluar itu, mereka tak pernah berbuat kasar, bahkan terkadang terkesan lembut. Kibau, Bimbang, Multi, Tungau, N’ceb, Sendhel, Babhol, lepuk,, Kuncung, dan Belacan, kurasa mereka yang sering bersikap ramah padaku. Lain dengan Korek, Phenank, Gembol, Rewel, Gaplek, Sengut dan yang lain-lain, bukannya mereka tidak suka padaku, tapi sikap mereka terkadang menjengkelkan. Hanya kudekati saja, mereka mulai menjauh, sepertinya mereka kira aku ini virus. Kalau aku ingin tidur didekat mereka, pasti langsung mendorong tubuhku dengan sedikit kasar, padahalkan aku hanya ingin berbagi kehangatan saja. Huh! Terkadang memang menyebalkan.
Mereka tak tahu, kalau aku sebenarnya merasa kesepian hidup sendiri. Lain dengan mereka yang selalu penuh keramaian. Susah mencari kawan di dunia perkucinganku ini. Oh iya! Kau belum keberitahu kalau aku adalah seekor kucing kan? Yap teman! Aku adalah seekor kucing. Kucing yang tersesat diantara orang-orang yang terkadang membuatku marah dengan kejahilannya, tapi sering membuatku terharu dengan perhatiannya, dan terkadang membuatku iri dengan segala kericuhan, keributan yang mereka lakukan diantara mereka dengan kegaduhan yang tak ada bandingannya, mata mereka begitu hidup bila saling bertemu, Bahagia. Mengingatkanku betapa sunyinya hidupku ini, sendiri, tak berteman.
Tapi kini aku sadar, kesendirianku itu tak terlalu berarti. Setidaknya kini aku memiliki mereka dalam hidupku. Aku yakin suatu saat kejahilan mereka akan sangat kurindukan, dan perhatian mereka akan membuatku tersedu terharu. Aku pernah mengalaminya, ketika itu rumahku ini begitu sepi, yang kutahu para penggosip itu pulang kekampung halamannya masing-masing. Liburan, begitu yang kudengar saat mereka sedang saling berpamitan.
Aku jadi teringat kejadian pagi ini, saat aku akan dikawini lagi oleh si bajingan tengik itu. Bukan sekali dia berbuat begitu padaku, hingga aku hamil dan melahirkan anak yang begitu banyak, aku selalu menyembunyikan semua itu dari mereka, aku takut sekaligus malu. Karena yang ku tahu, mereka tidak menyukai hal itu.
“Beraknya tu bah kak bim suka sembarangan kucing kecil tu, bau a…”. Itu alasan Phenank membenci kehamilan dan anak-anakku. Begitu juga alasan yang lain. Dan ternyata, tanpa sadar sepertinya aku telah berjanji pada diriku sendiri, tak akan kubiarkan diriku dijadikan mangsa napsu dari sibajingan tengik itu lagi. Dan kini aku tahu alasan apa yang sebenarnya membuatku begitu tak ingin dikawini lagi, aku takut bila harus dibenci oleh manusia yang kini telah kuanggap sebagai saudara itu. Tapi entah anggapan mereka terhadapku, aku tak peduli.
“Nah! Jadi dah ni bajunya, kali ni dijamin lah tak bakal sempit agik”. Bimbang menatap lega kearah kain coklat tua yang kini telah menjelma menjadi celana itu. Kemudian Bimbang meraih tubuhku perlahan, dan dengan sangat hati-hati dia memasang celana itu di tubuhku, aku tak melawan. Dan Slep! Kini Coklat tua dan coklat muda itu sudah menyelimuti tubuhku lengkap, kini aku memakai seragam yang biasa mereka gunakan juga. Oh, Aku terharu! Ku tatap satu-persatu wajah-wajah yang menatapku dengan kagum dan bangga itu. Tak bisa kutebak apa isi kepala mereka. Yang jelas sepertinya mereka tak menyangka aku bisa begitu gagah menggunakan seragam itu. Kegagahanku tak kalah dengan mereka. Ah, betapa kini aku merasa sangat menyayangi mereka, lebih banyak dari pada dulu. Tak kusangka mereka begitu peduli padaku. Aku berjalan dengan gagah mengelilingi mereka, kuusapkan kepalaku disetiap kaki-kaki yang sedikit berbau tak sedap, menunjukan betapa berterimakasihnya aku pada orang-orang itu. Mereka tertawa, geli karena tersentuh bulu lembutku. Yah, kini aku benar-benar telah menjadi saudara mereka. Bahagia rasanya.
“Kalo udah gagah macam gini ni, nama dia harus dirubah jadi Gondes ni, biar agak garang siket”. Encrut nyeletuk. Aku tak peduli.
“Ndak lah, keren Fernando lah, kayak nama telenovela-telenovela tu”. Gaplek membantah tak mau kalah. Aku belum peduli.
“Eh kita’ ni, sendhelawati lah lebih mantap, die kan perempuan”. Multi juga tak mau kalah mengeluarkan ide. Aku mulai terusik.
“Ihay! Jangan lah…dari awal bah nama dia tu sepat, kenang-kenangan dari kak multi tu, dah keren dah nama dia, dah terkenal kemana-mana”. Kibau ikut bersuara.
“Ndak, pokonya…”
“Ndak, bagusan….”
“Kok gitu? Janganlah….”
Suara-suara ribut yang sudah tak kupedulikan lagi, aku sudah terbiasa mendengar keributan seperti itu. Paling juga sebentar lagi mereka keletihan sendiri. Biarlah mereka berdebat, lebih baik aku pergi, akan kupamerkan baju baruku ini pada semua orang, juga termasuk si bajingan tengik yang selalu ingin mengawiniku itu. Dia tak boleh lagi seenaknya padaku, kini aku telah menjadi anggota perkumpulan super heboh itu. Kini mereka akan membelaku, sebagaimana mereka membela antar mereka. Langkahku kini semakin gagah dan mantap. Inilah aku teman, seeokor kucing yang tersesat diantara orang-orang gila namun mambuatku bangga bisa ada diantara mereka.
“Wooiii…Gondes, sepat, sendhelawati, Fernando…sini lah lok!”.
Entah siapa yang memanggil, aku tak ingin menoleh. Dikepalaku kini hanya ada rasa bangga dan bahagia. Tunggu para penggosip gila, sebentar lagi aku akan pulang, setelah seluruh penghuni dunia tahu, bahwa aku kini telah menjadi salah satu anggota perkumpulan kalian yang entah apa namanya itu. Trimakasih untuk seluruh rasa yang kalian beri. Rasa bangga, rasa haru, rasa bahagia, dan tak ketinggalan pula rasa marah yang terkadang kalian jejali didadaku. Ku tahu semua ini tak kan pernah terlupakan, sampai bumi tak lagi berbentuk bulat, sampai langit tak lagi untuk ditengadah, dan sampai waktu tak kan pernah lagi mempertemukan kita dalam satu cinta. _THE AND_

Karya ini dipersembahkan untuk mereka yang ku cinta….,,’anak-anak sanggar PRAMUKA STAIN Pontianak’ SEMANGAT!!!

SALAM PERSAHABATAN

SEPOK! itu bahasa Sintang. artinya orang yang berperilaku aneh ketika melihat, mendengar, merasa, sesuatu yang tidak biasa.
saya juga begitu dalam hal bloger ini,,,
jadi mohon bantuannya bagi yang udah 'pacak'....sip???!!!