Kamis, 04 November 2010

"PETROMAKS DIKAMPUNG CANGGIH"

Canggih. Betul-betul canggih!. Rentetan peluru mataku takjub mengitari sekeliling. Aku seakan sedang berada di crakawala kehidupan lain. Silau! Alumunium-alumunium dari atap rumah-rumah megah itu bercahaya tertimpa sengat matahari. Lama aku terpukau, detik jarum jam yang terus memekik di tanganku bergerak kilat, tapi tak ku hirau. Aku masih terpaku. Terpana. Tak habis juga sepasang bibirku meluncurkan kalimat-kalimat kekaguman. Ah, benarkah ini kampung yang kutinggalkan 13 tahun lalu? Rasanya aku tak percaya! Benar-benar perubahan itu mencapai 180 derajat di mataku.
Dulu, lorong-lorong jalan di kampung ini begitu sunyi, sulit menemukan orang untuk teman berjalan. Wajah jalan itu pun begitu kasar dipenuhi batu-batu yang besarnya melebihi kepala jabang bayi yang baru lahir. Pepohonan di kanan-kiri jalan masih membentuk gerombolan hutan lebat tak bersahabat. Jarak antar rumah memerlukan ribuan butir keringat untuk menempuhnya. Dan ketika malam tiba, para jangkrik dan kawan-kawannya berderik menjerit menjadi alunan merdu pengantar kaki bocah-bocah cilik yang berlomba mencapai pintu surau yang berdiri disudut kampung dengan kokoh walau hanya ditemani pelita redup. Sedang bulan yang mencuri sinarnya dari matahari menjadi penerang yang menyembuhkan kebutaan yang tiba-tiba menjadi sindrom menakutkan ketika malam menjenguk. Tapi kalau boleh kukatakan sekali lagi, itu kampungku dulu, duluuuu sekali. 13 tahun yang lalu . sekarang? Ckckckckckck….., decak kagum dari bibirku tak bisa dihentikan dengan mudah.
Sekarang, lorong-lorong jalan itu penuh sesak orang lalu lalang saling tak peduli, ada yang sendirian, berpasangan, hingga membentuk kelompok –kelompok kecil. Jalanan yang dulu kasar melukai, kini mulus, halus, dilapisi aspal mutu tinggi. Pepohonan lebat itu kini runtuh berganti tiang-tiang penyangga rumah yang diameternya melebihi pelukan orang dewasa. Taman bunga buatan ada juga di setiap halaman rumah-rumah megah itu. Bila ingin bepergian, tak perlu lagi melahirkan ribuan butir peluh dari seluruh badan, cukup memencet tombol remote control mobil, atau stater motor dari merk-merk terkenal yang kecepatannya menyamai kecepatan kilat , seperti yang sering diiklankan ditelevisi. Kemudian sampailah di tempat tujuan.
40 menit sudah aku membatu. Dan 40 menit sudah mataku mengirim pesan ke otak, betapa kampungku ini sarat dengan perubahan. Entah apalagi kejutan yang akan aku temui kemudian. Sampai akhirnya aku tersadar ketika sebuah tangan menyentuh pundakku perlahan. Aku terkejut dan kemudian menoleh. Berdiri sosok laki-laki sebayaku, santun pembawannya, mengenakan koko bewarna coklat yang selaras dengan kopiahnya, sarung panjang hitam yang sedikit kusam, dan memakai sandal jepit yang sering kulihat di toko-toko kelontongan. Dia tersenyum. Sederhana.
“Raja Al-Rabbani kan?”. Sapa si Santun itu masih dengan senyum ramahnya. Aku terkesiap. Dia mengenaliku. Hatiku mulai bermain teka-teki, mungkinkah dia teman bermain masa kecilku, atau teman mengaji di surau dulu? Ah, aku tak ingat apapun tentang si Ramah ini. Selagi aku mencoba mengingat, dia mulai menggandengku berjalan.
“Jangan pasang muka aneh begitu, aku ini teman kecilmu, dulu namaku Yosep, tapi sekarang sudah berganti menjadi Yusuf. Bagusnya kita mampir ke Masjid saja dulu, mumpung sudah masuk shalat zuhur, kita bisa berjamaah”. Jelasnya sambil mencoba mengembalikan memori masa kecilku.
Aku terpana tak bergerak mendengarnya. “Subhanallah…!”. Kalimat tasbih itu mengalir begitu saja dari bibirku, tak sadar aku berucap.
“Kau Yosep Si Badung itu kan? Yosep yang selalu menggangguku ketika sedang shalat Jum’at di Masjid, kau tusuk-tusuk telingaku karena waktu shalat aku selalu mengambil posisi di sebelah jendela supaya bisa melihat kalian yang tidak shalat bermain kelereng di halaman Masjid!”. Ingatanku mulai pulih, sedikit demi sedikit film dokumenter masa kecilku berputar kembali di bioskop dalam otakku. Aku tertawa. Dia juga tertawa. Lucu mengingat masa-masa dulu.
“Ah…., tapi kau kan dulu bukan seorang….”. Tak kuselesaikan kalimat itu, ragu.
“Ya, dulu aku memang bukan seorang muslim, tapi sejak 10 tahun lalu aku mulai berubah keyakinan, akhirnya seperti yang kau lihat sekarang ini’. Tegas jawabnya, tanpa ragu dan canggung. Aku menghela napas, sesak. Bukan karena sedih, tapi karena kagum melihatnya kini begitu penuh percaya diri. Yakin.
Tak kulihat waktu, tiba-tiba saja kaki kami yang berjalan dengan serempak telah menapaki halaman sebuah Masjid yang sangat sederhana, tidak megah seperti rumah-rumah yang kulewati tadi, namun begitu teduh menenangkan.
“Sudah sampai, cepatlah ambil wudhu, biar aku yang menjadi imam, biar kau tahu mualaf juga bisa lancar berbahasa Arab, apalagi kalau cuma Al-Fatihah. Ngomong-ngomong, kau masih seorang muslim kan sampai hari ini?”. Goda Yusuf padaku dengan tawa jahilnya yang kurasa tak dibuangnya sejak dulu.
Aku tertawa menanggapinya. “Ada-ada saja kau ini Yosep. Hm…, biar kupanggil kau Yosep saja ya, biar aku tetap ingat kau teman kecilku yang badung dan selalu jahil padaku”. Aku membalas godannya, kami berdua sama-sama tertawa, dia menggeleng sambil tersenyum padaku. Namun tiba-tiba Yosep menatapku lekat, lalu kemudian memelukku erat.
“Aku benar-benar merindukanmu kawan”. Ucapnya lirih di telingaku. Aku bergeragap, tak siap dengan kondisi mengharukan seperti ini. Kurasakan pundakku dingin. Basah. Ya Tuhan, kawan jahilku ini menangis.
“Sudah lama aku merasa sendirian, sejak acara perpisahan SD kita dulu, kau pergi melanjutkan sekolah, sedang yang lain, ah….”. Kalimatnya menggantung, aku mematung tak bisa berkata apa-apa. Heran. Kulepas pelukannya, kupegang kedua pundaknya yang sedikit bergetar, dan kutatap wajah yang tadi penuh percaya diri itu, sendu. Kesedihan itu menggelayut di matanya, tapi aku tak tahu hal apa yang membuatnya begitu sedih. Rasa bersalah mencuat di hatiku mengingat bagaimana pertemuan kami tadi, betapa sedikitpun aku tak mengenalinya, sedang dia begitu melihatku lansung menebak dengan tepat. Padahal bukannya aku tak pernah mengingat teman-teman kecilku itu, tapi perubahan besar pada mereka yang tak dapat kuikuti hingga membuatku pangling.
“Yosep, aku juga merindukan kau dan juga teman-teman yang lain, makanya aku datang hari ini, tapi waktu zuhur kita hampir habis, sebaiknya kita shalat zuhur dulu, baru setelah itu kita saling bercerita dengan leluasa. Ngomong-ngomong, kau jadi kan menjadi imamku hari ini?”. Kualihkan pembicaraan itu denagn sedikit menggodanya, mencoba menekan buih-buih rasa haru yang mulai menyebar. Yosep tersentak, kembali teringat tujuan awal kami berdua datang kemari, lantas dia cepat mengusap air matanya dengan ujung pakaian dilengannya, tersenyum malu menatapku.
“Ayo, kita langsung saja ambil wudhu, tempatnya di belakang masjid ini”. Terburu-buru Yosep menarik lenganku agar mengikuti langkahnya. Kami mengitari halaman masjid yang tidak begitu lebar. Ketika sampai, ku lihat seseorang juga sedang mengambil air wudhu, sudah cukup berumur. Kami menunggu antrian karena kran air wudhu itu ternyata hanya satu.
“Kenapa sepi sekali yang shalat di masjid ini Sep, kulihat hanya kita berdua dan ditambah bapak itu. Kawan-kawan kita yang lain pada kemana?”. Aku celingak-celinguk ke jalan raya berharap bisa melihat serombongan teman-temanku yang dulu selalu berlomba berlari menuju surau tempat kami mengaji. Yosep tersenyum melihat ulahku, namun matanya mengguratkan sedikit kesedihan.
“Yah, memang begini lah keadaannya Al, mungkin penduduk masih kecapean pulang dari kerja, keadaan seperti ini pun terjadi di waktu-waktu lainnya, Hm….Kau lihat sendiri sajalah nanti”. Yosep menjadikan penjelasannya menjadi sebuah tebakan, bergegas dia mengambil air wudhu, begitu segar air itu menyentuh wajahnya yang bersih bercahaya. Kejutan yang disiapkan Tuhan untukku hari ini benar-benar tak pernah kusangka, bisa berwudhu dan shalat berjamah dengan teman kecil yang dulu begitu getol menggangguku ketika shalat dan bukan seorang muslim. Benar-benar kejutan yang besar untukku, tanpa terasa ucapan syukur yang begitu penuh mengalir deras dalam hatiku. Ah, benarkah kau Yosep teman kecilku kawan? Bisikku perlahan.
“Eh malah ngelamun, cepat sana ambil wudhu, kutunggu di dalam!”. Yosep beranjak pergi menuju pintu masjid. Kini giliranku berwudhu, dengan penuh perasaan kuresapi air sejuk itu masuk dipori-pori kulitku, dengan tertib kuurutkan bagian-bagian badan yang dibersihkan. Ini pertama kalinya setelah 13 tahun aku akan melaksanakan shalat dikampung kelahiranku. Rindu itu akan terobati hari ini.
***
“Bagaimana kabar keluargamu di Kota Al?”. Percakapan itu kami mulai setelah shalat zuhur selesai dengan Yosep menjadi Imam. Kini kami sedang berleha-leha diperut Masjid melepas lelah sambil berbasa-basi menanyakan kabar masing-masing. Kuketahui Yosep belum berkeluarga, alasannya kata Yosep susah mencari perempuan solehah di kampungku ini, lucu sekali temanku yang satu ini. Mengenai keIslamnnya, banyak cerita menyedihkan yang menyelimutinya, dilecehkan dan dijauhi keluarga hingga tak dianggap lagi sebagai anak. Sampai kini keluarganya tak pernah rela dia menjadi seorang muslim. Tapi keimanan temanku itu tak bergeming, baginya Islam adalah agama dimana nyawanya akan tentram ketika terlepas dari jasad. Aku benar-benar salut padanya, kutepuk pundak kokoh Yosep, mencoba mengalirkan sedikit kekuatan yang mungkin akan diperlukannya suatu saat.
“Nah, kalau ceritamu sendiri bagaimana Al? dari tadi aku terus yang bercerita, ada keperluan apa sampai kau datang, dan lalu gelar apa saja yang sudah kau gondol dari kota besar itu?”. Pertanyaan Yosep mengagetkanku yang masih hanyut dalam alur kisah hidupnya yang begitu penuh liku. Bila dibandingkan, kisah hidupku tidak ada apa-apanya, datar, biasa-biasa saja.
“Ah, kisah hidupku tak terlalu banyak yang bisa diceritakan, semuanya biasa-biasa saja. Seperti yang kau tahu, lulus SD keluargaku pindah ke kota, aku meneruskan sekolahku di sana, sampai akhirnya gelar sarjana pendidikan kusandang sebulan yang lalu.”. ceritaku singkat.
“Wah! Sudah menjadi guru kau sekarang rupanya, kalau begitu ini saat yang tepat Al, kau telah selesai pendidikan, saatnya sekarang kau mengabdi untuk kampung ini. Anak-anak di sini butuh seorang pendidik yang sungguh-sungguh Al, bukan sekolah yang hanya formalitas saja!”. Berapi-api Yosep mempromosikan kampung kelahiranku ini. Sementara aku tak begitu paham dengan sekolah formalitas seperti katanya.
“Kenapa tidak kau saja yang menjadi pendidik untuk mereka Sep?”. aku bertanya keheranan, beringsut aku menghadapnya yang sedang duduk dengan kedua telapak tangan menyanggah dagu, matanya menerawang jauh, sulit kuikuti kemana arah mata itu melayang.
“Seandainya bisa Al, pasti aku akan sangat bahagia, tapi aku ini hanya lulusan SMP, semenjak aku pindah keyakinan, keluargaku tak lagi bertanggung jawab atas hidupku, jadi aku sendiri sibuk mencari sesuap nasi. Tapi itu yang menjadi sesalku sampai saaat ini”. Tanpa dia berkata menyesal pun, aku sudah dapat menangkap dari nada suaranya. Tertegun aku melihat wajah penuh luka namun tetap bercahaya itu, begitu tegar dan tak pernah berhenti berharap.
“Ah, ya sudahlah, kita pikirkan saja itu nanti-nanti, sekarang kita ke rumahku saja dulu, kau pasti belum makan sedari tadi. Di kampung ini kau tinggal saja di rumahku, toh di sinipun tak ada keluarga ynag kau tuju bukan?”. Gerakan tubuh Yosep melonjak cepat untuk berdiri, sambil dia merapikan kopiah yang agak tidak simetris di kepala bulatnya. Aku ikut berdiri mengikuti temanku yang sebatang kara ini. Semua hal di sini membuatku sangat panasaran, jalan penuh sesak itu, rumah-rumah mewah itu, dan juga sahabatku yang satu ini, Yosep. Entah apa yang telah terjadi pada kampung ini semenjak kepindahanku 13 tahun lalu. Terlalu banyak menyimpan misteri yang belum bisa kupecahkan.
***
Purnama malam ini tampak tak begitu kemilau, cahayanya hanya mengintip di sudut awan-awan kelabu yang menaungi gempal tubuhnya. Bintang pun tak begitu gegap gempita memamerkan kerlip indahnya. Anugrah alam itu kini mulai tertindas oleh teknologi zaman. Lampu ratusan watt yang terpasang disetiap sudut rumah dan badan jalan lebih menjanjikan kesetiannya untuk menerangi penghuni kampung canggih itu. Suara kawanan jangkrik pun kini telah tenggelam berganti dengan pekik riuh rendah suara-suara dari televisi yang sudah menjamur disetiap rumah.
Aku tengah duduk diteras masjid, baru saja selesai menjalankan shalat isya berjamaah. Masih tetap bertiga. Ah tidak, salah!. Kali ini berempat, Yosep sebagai imam, aku makmum ditemankan oleh seorang laki-laki yang juga menjadi teman makmumku ketika shalat zuhur siang tadi. Dan satu buah lampu petromaks yang sengaja dibawa oleh Yosep ketika kami hendak ke masjid. Ketika ku tanya untuk apa, dia hanya berkata, “Kau akan tahu sendiri nanti”. Begitu katanya.
Kemudian ketika ku tahu petromaks itu digunakan untuk penerang di Masjid, mataku nanar tak percaya, hatiku serasa akan meledak karena banyaknya pertanyaan yang tak terlontar. Gila! Apa-apaan ini? Apakah mungkin di kampung secanggih ini, dengan rumah-rumah mewah dan jalan-jalan yang silau karena pancaran sinar lampu, semantara satu-satunya masjid tempat penduduk ini mengadukan doanya hanya menggunakan petromaks hasil sumbangan dari satu orang, yaitu Yosep. Sungguh tak masuk akal! Dadaku bergemuruh marah. Aku mulai paham dengan keadaan kampung ini sekarang!.
Aku tercenung memikirkan semuanya, masjid ini, lampu petromaks ini, dan juga ucapan Yosep sebelum memulai shalat maghrib tadi, ketika Yosep melihatku sedang memandang jauh ke ujung jalan masih menanti serombongan sahabat-sahabatku dulu.
“Mereka tak akan datang, percayalah! Benjo, Agil, Wawan, Buya, Hendra, dan yang lain-lainnya. Kalau kau ingin menemui mereka, datang saja ke rumah bang Galang, rumahnya di pojok barat kampung ini. Pasti saat ini meraka sedang asyik memegang kartu, kalaupun tidak, pasti sedang mengadukan ayam-ayam jago peliharaannya”. Kata-kata Yosep cukup jelas bagiku, tak perlu lagi dipaparkan, dijabarkan, maupun diuraikan. Lunglai langkahku mendekati sajadah yang terletak dibelakang Yosep, kumulai shalatku dengan hati berkecamuk, dan kecewa, namun bingung harus berbuat apa.
Sia-sia penantianku menunggu para pesaing dimasa kecilku ketika lomba berlari mencapai surau terlebih dahulu. Kali ini mereka kalah telak, hingga waktu isya lewat, mereka tak juga menampakan batang hidung yang rata-rata pesek itu.
“Begitu parah kah perubahan di kampung ini Sep?”. tanyaku lebih pada rintihan. Pedih. Ku toleh Yosep yang duduk disebelahku.
“Jadi selama ini penghuni Masjid disetiap waktu shalat hanya kau dan bapak tua itu?”. Sebenarnya aku sudah mengetahi jawabannya. Yosep tersenyum getir, dan itu cukup menjelaskan semua.
“Semua perubahan ini berawal dari beberapa tahun lalu Al, ketika perusahaan minyak itu datang membawa harapan baru untuk penduduk kampung ini. Jalan-jalan diperbaiki, lalu kemudian listrik pun masuk. Semua warga mulai keranjingan mencari uang, membuat rumah-rumah megah, dan berburu perabotan di dalamnnya. Dari pagi hingga petang menjelang mereka lalu sibuk berlomba berlari mencapai tempat kerja, bukan surau lagi. Awalnya akupun bahagia melihat warga di sini maju, tapi semakin lama, kemajuan ini terasa ganjil bagiku”. Tak ku penggal cerita Yosep, aku sendiri larut membayangkan masa-masa sibuk itu, sementara Yosep melanjutkan kisahnya dengan wajah murung tak bergairah, tangannya mengepal menyentuh kening. Rasa kesal itu terpancar deras dari mata beningnya.
“Memang, tak lama kemudian surau buruk itu disulap menjadi Masjid oleh perusahaan minyak hingga seperti sekarang ini, tapi untuk apa? Toh sejak saat itu, Masjid ini menjadi tak berpenghuni, terabaikan, dan malah terlupakan. Ramai hanya ketika hari Raya saja, itupun hanya sekejap!”. Sahutan cicak di dinding Masjid mengaminkan cerita Yosep. Sementara di langit bangunan, petromaks berkedap-kedip hampir kehabisan energinya, menyedihkan. Yosep lalu menggeliat bangun, diraihnya petromaks itu, dengan teliti dan sabar dipompanya agar cahaya yang keluar lebih benderang. Dan hasilnya cukup memuaskan, sinarnya kembali mampu menyelundup keseluruh ruang Masjid dengan sempurna. Aku hanya memperhatikannya tanpa berkomentar. Hening.
“Coba kau lihat petromaks ini!”. Yosep memecahkan keheningan dan mendekatkan petromaks itu ke tubuhku. Aku sedikit menjauh, panas.
“Ini menjadi bukti bagaimana tak pedulinya penduduk kampung ini dengan tempat ibadah mereka. Berwatt-watt lampu menerangi rumah-rumah megahnya, tapi untuk menyalurkan satu lampu ke masjid saja mereka enggan, alasannya kata mereka di Masjid ini jarang ada kegiatan, jadi tidak begitu memerlukan penerang. Benar-benar keterlaluan!”. Gemeletuk gigi Yosep menahan geram hatinya. Wajahnya mengeras, emosi itu sepertinya sebentar lagi akan meledak. Aku mendengus.
“Apa tidak ada sesepuh kampung atau mungkin guru agama yang bisa bertindak Sep?”. Ku tatap wajah pias Yosep dalam keremangan cahaya petromaks.
“Sesepuh kampung yang mana? Yang setiap hari bergulat diatas meja judinya itu? Huh! Dan guru agama di kampung ini, ya bapak tua yang setiap hari berjamaah dengan kita itu. Dia juga tak bisa berbuat apa-apa Al, dia hanya seorang pendatang di kampung ini, mana didengar suaranya. Orang-orang disini sudah terlalu sombong, susah!”. Putus asa jawaban Yosep, sepertinya harapan untuk memperbaiki itu telah jauh dari jangkauannya. Mata bening itu mulai terlihat letih dan berkaca-kaca.
“Belum lagi pengaruh buruk yang dibawa para pendatang yang suka berjudi dan mabuk-mabukan yang ternyata malah sangat diterima oleh penduduk sini, gerombolan bang Galang itu. Dan kau tahu Al? kawan-kawan kita, kawan-kawan mengajimu dulu adalah salah satu korbannya! Aku sendiri bingung harus bagaimana, aku tak sanggup bila menentangnya sendirian Al!”. Amarah Yosep kini pecah menjadi raungan tangis yang membuat miris, sedu sedannya tak terkendali. Kesedihan dan kekecewaan itu jelas menyayat tajam dilubuk hatinya, dan ketidakberdayaan membuat dia merasa tidak berguna.
Aku sendiri kini hanya bisa terpaku, bingung melihat kenyataan yang ada. Baru siang tadi aku begitu terpesona melihat perubahan itu, tapi sekarang, pesona itu terasa menghitam dimataku. Aku lalu teringat permintaan Yosep padaku untuk menjadi pendidik dikampung ini, kini aku sendiri ragu bisa melakukannya. Kupandangi Yosep yang masih sesenggukan disebelahku, lalu beralih pada petromaks yang setia mendampinginya menerangi masjid ini, ada cahaya disitu walau sedikit redup, tapi ku yakin dia tak kalah setianya dengan lampu ratusan watt di jalan-jalan besar itu yang menerangi kehidupan disekitarnya. Lalu kemudian kualihkan tatapanku ke ujung jalan depan masjid yang berkelok dan berkerikil, walau jalan itu tak semulus yang lainnya, tapi ada harapan untuk bisa diperbaiki. Sama. Sama seperti kampung ini. Aku yakin pasti akan selalu ada harapan untuk memulainya dari awal, memulainya menjadi lebih baik.
Dan secara mengejutkan, satu semangat menjalar hangat di hatiku, melesat cepat bagai anak panah yang membawa gairah yang melonjak-lonjak tak terkendali dan menjelma menjadi seulas senyum berapi-api di bibirku. Kini aku yakin aku pasti bisa merubah semuanya, demi kampung kelahiranku. Sekali lagi ku lirik secara bergantian antara Yosep dan lampu petromaks yang berkedap-kedip lemah itu. Namun kini pandangan itu diringi senyuman yang berisi harapan baru. Tenang kawan, harapan itu belum mati. Masih ada kau, aku, dan lampu petromaks ini yang akan bersama-sama membangun semaunya dari awal walau secara perlahan. Bisikku jauh disudut hati pada sahabat mualafku itu.
(TembangJadulScout) NB: Tugas Nulis cerpen Club Menulis STAIN Pontianak

Tidak ada komentar:

Posting Komentar