Senin, 01 November 2010

“YUSDIANA, DOSEN JAGO CERITA!”

Kupegang erat-erat buku saku bersampul motif batik yang selalu menemaniku kemanapun aku pergi. Mulutku komat kamit tak jelas menandakan keadaaan hati yang sedang galau. Kakiku juga tak henti bergerak reflek mencoba mengurangi rasa gundah yang sedang melanda. Aku tengah menanti antrian bertemu dengan ketua Jurusan Tarbiyah di kampusku, STAIN Pontianak, Drs.Yusdiana, M.Si. Dosen yang rencananya akan menjadi bahan tulisanku untuk tugas menulis profil dosen. Waktuku hanya dua minggu, aku harus mengejar deadline, deadline adalah bahasa untuk para wartawan yang artinya batas waktu yang ditentukan. Bangga juga akhirnya bisa menggunakan kata-kata itu. Hehehehe....
Baru kali ini aku merasakan nikmatnya antri yang begitu lama, malah terlintas do’a di benakku agar antrian itu lebih lama lagi. Rasanya aku benar-benar belum siap melakukan wawancara perdanaku, dengan ketua jurusan pula. Jangankan wawancara, teknik-teknik wawancara saja aku tidak menguasai.
“Santai jak, wawancara tu nggak susah kok, yang penting harus sopan. Dan satu lagi, kita udah harus punya daftar pertanyaan untuk orang yang kita wawancara”. Saran salah seorang kakakku, Lilis, sebelum aku masuk ke dalam antrian sambil berusaha menenangkanku yang terlihat berantakan tak karuan. Wajar saja dia berkata begitu, dia salah satu ‘dedengkot’ penulis dan wartawan yang berkeliaran di kampusku. Wawancara seperti itu pasti mudah baginya. Akhirnya dengan setengah dipaksa, aku masuk ke dalam antrian yang sangat panjang, pastinya itu terasa bila aku dalam keadaan normal. Aku terguncang. Peluhku menggelinding. Namun di tengah kekacauan itu, tiba-tiba terlintas bagaimana kisahku sampai pada tahap duduk menegangkan menunggu antrian seperti ini.


Dua hari yang lalu. Hidup itu sebuah pilihan, dan setiap pilihan diyakini pasti ada konsekuensinya. Kira-kira begitulah isi dari salah satu buku yang pernah kubaca sekilas. Keputusanku untuk masuk manjadi anggota Club Karya Tulis Ilmiah, atau yang biasa disebut Club Menulis di kampusku, telah menggelandangku pada petualangan baru yang mencengangkan. Menulis. Yap, menulis dengan ilmu menulis. Sesuatu yang tak pernah kubayangkan sebelumnya, apalagi kulakukan. Semua itu berawal dari kebiasaan coret-coret tidak jelasku yang memprihatinkan lingkungan sekitar, terutama sahabat dekatku. Hingga munculah ide ‘gila’ darinya untuk masuk Club menulis. Dengan segala ketidaktahuanku di dunia menulis, akhirnya aku nekad terjun bebas. Aku mendaftar sebagai anggota Club Menulis, sesaat bulu kudukku meremang ketika mulai meneteskan tinta menyoretkan namaku di kertas formulir pendaftaran. Bukan karena takut, tapi lebih karena malu, malu bila nanti tidak bisa berbuat apa-apa.
Pertemuan pertamaku di Club Menulis. Ternyata sangat menggoda! menggoda kakiku untuk kembali berputar arah melarikan diri. Waduh! Lirik kiri, lirik kanan, ruangan yang tidak begitu luas namun dipenuhi kursi itu dihuni para sesepuh penulis dan wartawan di kampusku. Kepiawaiannya menulis sudah tidak diragukan lagi, hatiku semakin ciut. Kucoba leburkan ketakutanku dengan paksa, cepat-cepat kusembunyikan tubuhku di bagian pojok ruangan, berharap tak ada satu orang pun yang menyadari kehadiranku. Tapi ternyata aku salah!
“Kakak yang baju kuning, ada pertanyaan? Kayaknya anggota baru ya? Soalnya saya nggak pernah liat sebelumnya, tadi Saya mau negur tapi gimana gitu…”
Deg! Baju kuning? Aku? Arrrrrrgh! Ternyata tubuh besarku tak bisa menghalangi pandangan orang-orang di sekitar. Dan Pak Yus. Yusriadi, dosen yang merangkap sebagai pembimbing Club Menulis, baru saja menyapaku. Apa yang harus kukatakan? Kepalaku tiba-tiba berdenyut tak karuan. Kukerjapkan mataku agar lebih cemerlang melihat sekitar, kupompa percaya diriku agar tak terlihat gugup saat menjawab, tapi sepertinya pompa itu telah aus, kepercayaan diriku malah buyar. Lenyap.
“Tu lah Pak, saya juga tadi sebenarnya mau negur, tapi gimana gitu...”. Mulutku keseleo. Sungguh keterlaluan! Malah kata-kata itu yang keluar. Bisa-bisanya aku berkata seperti itu, gawat. Kucubit dengan keras lenganku sendiri sebagai hukuman. Tapi untung saja Pak Yus tidak begitu ambil peduli dengan jawabanku yang sangat tidak sopan. Beliau sedang menanti perkataanku selanjutnya, giliranku yang bingung harus berkata apa lagi.
“Saya bingung Pak, belum tahu harus gimana”. Kataku akhirnya setelah sebelumnya terlebih dulu memperkenalkan diri. Memperkenalkan diri wajib hukumnya bagi anggota baru. Aku menunduk sambil garuk-garuk kepala, tak sanggup bila harus menegakan kepala. Tak sanggup menjadi pusat perhatian seluruh isi ruangan.
Pak Yusriadi mengangguk-angguk, sepertinya dia mulai paham dengan keadaan dan kemampuanku. Dialihkannya pandangan ke seluruh ruangan, aku bernafas lega, kusandarkan punggungku di sandaran kursi yang kududuki, mencoba mengembalikan denyut nadiku yang sempat berdetak tak normal. Beliau lalu melanjutkan penjelasannya mengenai bagaimana menulis, diselingi dengan pemberian motivasi pada anggota Club untuk selalu bersemangat dalam menulis dan berkarya. Aku terbuai bersama anggota lainnya saat mendengarkan penjelasan itu, hatiku sudah sedikit mulai tenang.
“Jadi begitu ya, target kita sekarang, satu minggu lagi selesai menulis cerpen, dua minggu lagi selesai menulis profil dosen, dan mengenai tulisan tentang budaya kita bicarakan lain kali, yang jelas tetap jadi target kita”. Pak Yus mengakhiri penjelasannya sambil meregangkan otot-otot tubuhnya. Sepertinya beliau sedikit merasa lelah.
Aku terperanjat mendengarnya, hari pertama masuk aku langsung dihadapkan pada tugas yang tidak ringan, apalagi untuk ukuran penulis amatir tanpa pengalaman sama sekali sepertiku. Hatiku mengkerut, ketakutan tak bisa melakukan apa-apa muncul lagi. Terutama mengenai menulis profil dosen. Kutinggalkan ruangan yang berada di lantai dua gedung perpustakaan itu dengan perasaan gamang. Ragu mampu melaksanakan tugas itu. Pertemuan hari itu memang bukan pertemuan pertama bagi anggota lain, makanya tugas juga sudah mulai menumpuk. Hanya aku yang baru bisa hadir. Dan kini, di bangku panjang depan ruang Ketua Jurusan Tarbiyah aku terdampar memutih, pucat.


Orang terakhir di depanku maju, aku semakin gugup. Keringat dinginku membanjir, wajahku pias, tiba-tiba saja perutku terasa mulas tak menentu dan kakiku juga tiba-tiba terasa kram, padahal rencananya aku akan mundur menuju antrian paling akhir, mulai antri lagi dari awal. Walaupun nyaliku tidak begitu siap untuk wawancara, tapi aku sudah bertekad harus mendapatkan data-data itu hari ini, aku tidak ingin menunda lagi. Kupaksa menggerakan kakiku sedikit demi sedikit, berhasil! Aku mulai berdiri, kutarik nafas dalam-dalam, siap untuk kembali menjadi antrian yang paling terakhir lagi, dan ketika aku mulai melangkahkan kaki, tiba-tiba...
”Yang selanjutnya, silahkan masuk!”. Suara orang yang tadi berada di depanku bagaikan guntur meledak yang menghancurkan seluruh organ tubuhku hingga menjadi kepingan-kepingan halus. Aku serasa meleleh. Ya Tuhan! Apa yang harus aku lakukan? Bu Yusdiana yang sedang duduk dalam ruangan sudah terlanjur melihatku walau sekilas. Lama aku terpaku, satu detik, lima detik, sepuluh detik. Akhirnya dengan sisa kesadaran yang kumiliki, aku mencoba menyatukan kembali kepingan-kepingan tubuhku agar kembali seperti semula. Kekuatanku sedikit pulih. Aku lalu coba langkahkan kaki, namun kini arahku bukan kebelakang antrian, tapi menuju arah di mana Bu Yusdiana sedang duduk menekuri tumpukan kertas putih yang terletak di atas meja dalam ruangannya. Beliau terlihat sedang konsentrasi. Kukumpulkan keberanianku yang masih tersisa dengan perlahan.
“Assalamualaikum….” Salamku lirih, lebih mirip seperti rintihan menyayat. Sementara keringat di punggungku semakin mengalir deras.
“Wa’alaikumsalam…” Bu Yusdiana menjawab salamku sambil menoleh sekilas, matanya tertuju kembali pada kertas putih di atas meja yang tadi sedang menjadi konsentrasi pikirannya. Setelah kulihat dari dekat, sepertinya kertas-kertas itu skripsi dari seseorang yang tadi duduk di depanku.
Lantas aku melangkah masuk, kuhampiri kursi yang persis berada di depan Beliau. Aku duduk perlahan, takut menimbulkan bunyi yang bisa membuyarkan pikirannya. Lama hening. Aku tak berani menyapa terlebih dulu, sepertinya beliau benar-benar sedang berkonsentrasi pada skripsi yang sedang dibacanya. Sambil menunggu, kulayangkan pandanganku ke ruang sekitar. Ada buku-buku dan map bertumpuk di atas meja, juga tas kecil berisi handphone tergeletak bebas, dan beberapa alat tulis yang tersusun dengan rapi, lalu ada juga….
“Ada keperluan apa?”.
Nyos! Aku terhenyak. Pertanyaan Bu Yusdiana memotong pengamatanku terhadap ruangan itu, dan lebih parahnya memotong juga sepenggal keberanian yang telah susah payah kukumpulkan sedari tadi. Cepat-cepat kuperbaiki letak dudukku, tatapanku lurus ke depan menutupi gelisah yang tiba-tiba mendera lagi setelah sebelumnya agak mereda. Kuucap basmalah sebelum memulai berbicara, berharap mendapat kekuatan dari-Nya yang benar-benar sangat kubutuhan saat ini. Aku berusaha memberikan senyuman ramah, tapi sepertinya malah seringai ketakutan yang keluar. Kucoba rebut udara sekitar lalu menghirupnya dalam-dalam, dan…
“Sebelumnya saya mohon maaf mengganggu waktu Ibu, Saya sedang mendapat tugas dari Club Menulis untuk menulis profil dosen, dan saya memilih ibu sebagai tokoh yang akan saya ambil kisah hidupnya, semoga ibu mau mengizinkan”.
Huft! Lepas. Kalimatku yang tidak terlalu panjang itu benar-benar mujarab. Sebongkah beban didadaku terurai cepat. Kini dadaku kembali bisa menampung dengan sempurna bila dijejali oksigen untuk bernafas.
Bu Yusdiana menengadahkan kepalanya mendengar peryataanku dan memandangku dengan tatapan yang sulit kutebak maknanya. Hatiku berdegup kencang menunggu jawaban. Aku tak berani membalas tatapan itu. Walaupun kini perasaanku sudah tidak terlalu kacau lagi, tapi karisma yang terpancar dari seorang Yusdiana sulit kutentang. Setelah agak lama terdiam, akhirnya jawaban yang kuharap-harapkan itu mengalir juga, Bu Yusdiana bersedia menjadi objekku dalam tugas penulisan profil dosen ini. Ah! Dadaku melonjak hampir meledak karena bahagia yang tak terhingga, tak kusangka begitu ringannnya beliau memberika izin padaku.
“Yakinlah Bu Yusdiana tu mau diwawancara, diakan orangnya emang suka becerita, kalo lagi ngomel sama mahasiswanya jak kayak sambil becerita”. Guyonan teman satu angkatanku, Herianti, ketika kuutarakan kekhawatiranku untuk wawancara dengan Beliau. Dan dugaannya itu tepat. Walau kesibukan dan jadwalnya sedang menggelembung, beliau tetap bersedia menyediakan secuil waktunya untuk memberiku kesempatan wawancara.
***
Yusdiana, itu nama kecilnya. Baginya nama adalah doa dan harapan dari orang tua yang tak mungkin tergantikan. Lahir dari keluarga yang biasa-biasa saja, tidak bermarga dan tidak pula berkasta. Dengan Ayah yang bernama Syafiudin, seorang keturunan Melayu Banjar yang bekerja di sebuah perusahaan kayu bagian keuangan, dan Ibu yang bernama Yasirah, keturunan Jawa tulen, bekerja sebagai pegawai negeri sipil (PNS) di Polda. Kehidupan ekonomi yang biasa-biasa membuat Yusdiana kecil belajar untuk hidup mandiri, tidak terlalu bergantung pada orang tua. Mengerjakan pekerjaan rumah membantu ibu yang sangat dia sayangi adalah hal yang biasa baginya. Hingga kini kemandirian itu masih dia tanamkan pada dirinya sendiri, bahkan dalam kehidupan rumah tangganya. Mengurus anak hingga pekerjaan rumah yang begitu merepotkan, dia kerjakan tanpa bantuan seorang pembantu rumah tangga satu pun, belum lagi ditambah pekerjaan tetapnya sebagai dosen sekaligus Ketua Jurusan Tarbiyah di STAIN Pontianak, yang kesibukannya tidak mungkin bisa diabaikan begitu saja. Namun semua itu tetap dia coba untuk nikmati.
“Untung saja keluarga ibu bisa memahami semua kesibukan yang ibu hadapi setiap harinya, jadi suami dan anak-anak ibu kalo di rumah selalu mambantu pekerjaan rumah yang mereka bisa. Kerja sama, itu yang selalu ibu tekankan pada mereka”. Katanya menjelaskan dengan mata yang sedikit berbinar, sambil sesekali berkonsentrasi pada handphonenya yang hampir setiap menit menjerit meminta diperhatikan tuannya. Maklumlah, beliau termasuk orang yang terletak di jajaran atas dalam struktur lembaga STAIN Pontianak saat ini.
Dosen yang dikenal mahasiswanya sebagai dosen yang sangat perhatian pada segala hal mengenai anak didiknya ini lahir di Pontianak empat puluh tahun silam, tepatnya pada tahun 1970 tanggal 24 April, dan lahir sebagai anak pertama dari dua bersaudara yang semuanya berjenis kelamin perempuan. Karena itu kedua orang tuanya sedikit memberi perhatian ekstra, terutama dalam hal lingkungan pergaulan dan sekolah. Sekolah yang dipilih untuk Yusdina kecil menuntut ilmu semuanya berbau Islami. Jejak pertama di bangku sekolah dasar dipercayakan di Madrasah Ibtidaiyah Swasta Bawari Pontianak pada tahun 1975 dan selesai pada tahun 1982 dengan prestasi yang cukup memuaskan.
“Ibu nggak pernah kenal yang namanya TK, makanya waktu masuk SD juga masih muda banget, zaman dulu kan belum ada ketentuan umur untuk masuk SD, nggak kayak sekarang”. Begitu jelasnya, matanya terlihat menerawang jauh mengingat masa lalu. Lalu segaris senyum tipis terukir dibibirnya, aku pun tak tahu hal apa yang membuat Bu Yusdiana tersenyum seperti itu. Kulanjutkan bagian pertanyaanku yang berderet panjang. Aku takut waktu Bu Yusdiana tidak panjang lagi untukku, mengingat kesibukannya yang menggunung.
Setelah selesai, dilanjutkan di Madrasah Tsanawiyah Negeri 1 Pontianak hingga tahun 1985, dulu sekolah itu belum semegah sekarang, sebagian halamannya masih ditumbuhi ilalang yang terkadang mengusik ketika siswa-siswinya berlari melintasi halaman. Seperti ketika di sekolah dasar, di jenjang pendidikan pertama ini Yusdiana yang mulai beranjak remaja tetap selalu mendapatkan nilai yang cukup memuaskan hingga bisa membuat kedua orang tuanya merasa bangga.
Dan berburu sekolah yang bernafaskan Islami tidak berhenti hanya sampai tingkat pertama, ditingkat menengah dipilihlah Madrasah Aliyah Negeri 1 Pontianak sebagai tempat menimba ilmu, terutama ilmu tentang Islam. Tak banyak halangan yang dihadapi selama proses belajar itu, karena selain sekolah, Yusdiana remaja tak diizinkan untuk membantu mencari nafkah walaupun sebenarnya dia ingin.
“Orang tua Ibu memang berprinsip, selagi anaknya sekolah tak ada yang boleh membebankannya dengan hal apapun, seperti misalnya pacaran apalagi sampai ikut mencari nafkah, jadi ibu selain sekolah, pekerjaan lainnya hanya membantu di rumah beres-beres saja”. Katanya dengan tawa tertahan masih sambil berbagi konsentrasi dengan handphonenya. Entah siapa yang tak berhenti menghubunginya itu. Sedang waktuku sudah semakin menipis.
Dan pada tahun 1988, selesailah perburuan ilmu di tingkat menengah itu. Di titik ini, kebingungan dan kebimbangan mulai melanda, keinginan untuk terus melanjutkan petualangan mendaki ilmu sambil berhijrah ke pulau seberang menemukan jurusan kuliah yang diinginkan mendapat tantangan keras dari kedua orang tuanya dengan alasan yang sulit dibantah.
“Mereka nggak mau jauh dari anak-anaknya, apalagi ibu hanya dua bersaudara. Kata mereka, kalo ibu mau lanjut kuliah ya harus sekitar Pontianak saja, waktu itu ibu sempat down”. Hening. Aku sibuk mencatat semua yang beliau ceritakan, agak sulit memang bagi penulis pemula sepertiku, hanya bisa dengan menulis tanpa ada alat rekam.
“Ada lagi yang mau ditanyakan?” tanya Bu Yusdiana melihatku diam, sibuk menulis sendiri dan tidak mengajukan pertanyaan-pertanyaan lagi. Aku bergeragap terkejut.
“Masih ada Bu, banyak malah. Maaf ya bu kalo kelamaan, soalnya emang informasi yang didapat harus sebanyak-banyaknya”. Jawabku sambil menyeringai tak nyaman yang dibalas dengan anggukan kepala oleh Bu Yusdiana. Kulirik daftar pertanyaan di catatanku, masih begitu banyak yang belum ku ‘ceklis’, itu tandanya masih banyak pula pertanyaan yang belum kusampaikan. Kulanjutkan kembali wawancaraku yang sempat tertunda.
Akhirnya setelah melewati musyawarah keluarga, diputuskan Yusdiana yang kala itu mulai dewasa mendaftar kuliah di IAIN Pontianak Fakultas Tarbiyah, Program Studi Pendidikan Bahasa Arab. Yaitu kampus yang sekarang menjadi STAIN Pontianak. Hobinya pada mata pelajaran Al-Qur’an Hadits saat dibangku sekolah dan cita-citanya yang ingin menjadi seorang hafizd Qur’an membuatnya tertarik pada jurusan itu.
“Ya, seenggaknya nggak bisa masuk jurusan yang diinginkan, bisa masuk yang agak nyerempet-nyerempet sedikit”. Candanya sambil seperti menghibur diri sendiri. Dan Tuhan memang tahu hal apa yang terbaik bagi umatnya, tidak semua yang kita anggap baik untuk kita baik juga di mata Allah. Itu juga yang dirasakan oleh Yusdiana.
Awal-awal menjadi mahasiswa adalah saat-saat yang sangat mengesankan bagi jiwa muda Yusdiana. Menjadi salah satu diantara dua bidadari di kelasnya adalah hal yang paling tak terlupakan dalam memorinya.
“Di kelas ibu, Bahasa Arab, itu perempuannya hanya dua orang, itu pun gak lama, ditengah-tengah tahun kuliah, teman ibu pindah ke luar daerah, jadi akhirnya hanya ibu yang jadi penghuni paling cantik di kelas”. Tawanya mengiringi cerita itu.
Hal lain yang paling membuat terkesan adalah ketika bergelut dengan tugas-tugas kuliah yang menumpuk ditambah dengan aktivitas menjadi anggota Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), menjabat sebagai bendahara umum sehingga lumayan menyita waktu bebasnya, namun mampu menorehkan kepuasan hati yang tak terungkap.
“Ibu juga heran, dari MTs di kegiatan OSIS, di MAN juga, sampe kuliah S1 di STAIN, selalu menjadi bendahara, ibu juga nggak tahu sebabnya”. Keheranan itu kembali dia tunjukan padaku, aku hanya tersenyum menanggapi. Aku terlalu sibuk mencatat, tak sempat menanggapi dengan kata-kata. Sementara beliau melanjutkan ceritanya.
Hari berganti, bulan pun mengiringi pergantian itu, perubahan telah terjadi di setiap hela nafas yang dihembuskan, kesibukan demi kesibukan telah Yusdiana lewati. Hingga suatu ketika terjadilah peristiwa penting itu, peristiwa yang akan membawa perubahan besar dalam kehidupan Yusdiana, peristiwa yang akan menjadi masa depannya, peristiwa yang membuat Yusdiana tak bisa memejamkan mata barang sekejapun ketika malam mulai menjalankan tugasnya, peristiwa yang juga membuat bibir Yusdiana tak berhenti tersenyum bila mengingatnya. Peristiwa pertemuan dengan pria itu. Ya, pria itu. Pria tinggi besar. Pria cerdas dan sangat mempesona di matanya. Pria yang telah menelusupkan getar-getar menakjubkan dalam dadanya. Pria yang hingga kini mendampinginya dalam sebuah ikatan perkawinan. Teman satu angkatan kuliah, satu jurusan, namun berbeda program studi. Pria itu kuliah di program studi Pendidikan Agama Islam. Hariansyah namanya. Dan pada Hariansyah, Yusdiana muda jatuh cinta. Gayung pun bersambut, cinta itu pun dirasakan pula oleh Hariansyah. Dan terciptalah sebuah komitmen serius antara keduanya.
“Ibu juga gak tau gimana ceritanya kok bisa dengan pak Ian, apalagi kalo soal tanggal jadian yang sering diributkan anak-anak zaman sekarang. Soalnya anak zaman dulu kan kalo pacaran gak kayak sekarang, sana-sini jalan berdua, ibu dulu mana berani kayak gitu, paling-paling ketemu ya di kampus aja, itu pun liat dari jauh. Dan ada satu hal lagi yang lucu sekali pada saat itu, angkatan ibu yang cinlok ada tiga pasang, dan semua akhirnya menikah sampai hari ini, kalau ada waktu pasti ibu sempatkan untuk menghubungi mereka, bernostalgia mengingat masa lalu”. Tutur dosen yang saat ini telah mengampu mata kuliah Psikologi Pendidikan dan Psikologi Perkembangan itu dengan wajah bersemu merah. Cinta itu terpancar deras dari matanya.
“Cintaku Bersemi di Bangku Kuliah”, judul itu mungkin cocok bila kisah ini di filmkan atau dibuat menjadi sebuah novel. Tuhan telah mempertemukan Yusdiana dengan jodohnya itu di tanah Kalimantan. Ya, Kalimantan, bukan Jawa, bukan Sumatra, dan bukan pula Jakarta. Tuhan telah menjawab semuanya, menjawab penolakan atas do’a Yusdiana dahulu ketika dia berniat untuk melanjutkan kuliah S1 di pulau seberang, Jawa. Setiap peristiwa yang terjadi, pasti selalu ada hikmah yang mengiringinya. Begitu falsafah para orang bijak.
Kisah cinta itu terus bergulir mengekori waktu, menciptakan hari-hari penuh tawa dan semangat untuk melakukan yang terbaik dalam setiap langkah yang ditapakkan. Tanpa terasa kerja keras itu hampir mencapai finish. Pontang panting mengerjakan tugas-tugas kuliah, mengejar nilai terbaik, hingga mulai menyusun skripsi telah terlewati. Hingga saat yang paling ditunggu-tunggu itu tiba. Wisuda di depan mata. Titik air mata kelelahan namun penuh kepuasan akan diteteskan hari itu. Dan kerja keras selama perjalanan penuh liku akhirnya terjawab sudah. Pada tahun 1993 Yusdiana dinyatakan lulus dengan predikat Lulusan Terbaik dari Program Studi Pendidikan Bahasa Arab. Dan yang tak disangka, Hariansyah, pria yang telah mengenggam hatinya, juga dinyatakan menjadi Lulusan Terbaik dari Program Studi Pendidikan Agama Islam. Bahagia itu tak terperi, sujud syukur tak dilupakan, air mata bahagia tak mampu dibendung, apalagi melihat bening mata kedua orang tuanya yang berkaca-kaca menahan haru dan bangga. Benar-benar ribuan rasa syukur tak akan bisa mewakili semua yang telah Tuhan beri.
Dan kisah hidup itu tak berhenti sampai di situ. Tanggung jawab yang didapat dari sebuah pencarian ilmu kini dituntut untuk bisa menghasilkan kehidupan yang lebih baik dan bermakna. Beruntung nasib baik sedang memihak, berkat menjadi lulusan terbaik di Program studinya, tak lama Yusdiana langsung diminta untuk menjadi asisten dosen di STAIN Pontianak. Tidak mudah memang, tapi semuanya tetap harus dicoba.
Tidak adil bila kita meninggalkan begitu saja kisah tentang calon suami tokoh utama dalam cerita ini. Hariansyah. Karena kebetulan keduanya berada pada jalur hidup yang sama semenjak masuk di bangku kuliah. Yah, tidak jauh berbeda dengan yang dialami Yusdiana, tidak lama setelah kelulusan itu, bersama-sama dengan Yusdiana, Hariansyah pun diangkat oleh salah satu dosennya sebagai asiaten pula. Dan jadilah keduanya mengabdi di kampus yang selama ini menjadi saksi tempat keduanya menuntut ilmu dengan kerja keras, saksi tempat keduanya menemukan sejuknya cinta sepasang manusia, menemukan betapa besar kuasa Tuhan atas nasib makhluknya.
Kisah kasih yang dijalin itu semakin terajut erat seiring berjalannya waktu, apalagi ditambah merasa senasib sepenanggungan. Dan akhirnya perjuangan serta kerja keras itu berbuah manis, pada tahun 1994 STAIN Pontianak yang pada saat itu bernama Institut Agama Islam Negeri Syarif Hidayatullah Cabang Pontianak mengadakan Pengangkatan Pegawai dan Dosen. Dan lagi-lagi bersama-sama, Yusdiana dan Hariansyah diangkat menjadi Dosen tetap di Jurusan Tarbiyah Program Studi Pendidikan Agama Islam. Syukur itu terulang lagi, haru dan bahagia tak bisa disembunyi. Kerja keras itu sepertinya telah terbayar sudah.
“Ibu juga nggak tahu ngapa orang STAIN milih ibu di Prodi PAI, bukannya bahasa Arab. Ditambah lagi ibu sama sekali nggak punya basic jadi seorang guru, apalagi guru PAI. Tapi ya nggak apa-apalah. Kuncinya kita harus tekun dan yakin, kalo kita udah menjalankan dua prinsip itu, apapun yang kita lakukan insya Allah pasti berhasil”. Jelas ibu yang gemar memasak dan olahraga ini memaparkan pendapatnya.
Kini menjadi seorang dosen memang telah menjadi jalan hidupnya, aktivitas itu selalu dia jalani setiap hari. Dari bergelut dengan mahasiswa yang beragam, sampai soal nilai yang selalu ditagih oleh mahasiswa yang menjadi didikannya. Semua itu tak pernah dia lewatkan setiap harinya. Juga mengenai hubungannya dengan Hariansyah yang semakin mengarah pada tingkat keseriusan yang tinggi.
Dengan Hariansyah, tujuh tahun melewati hari bersama, suka duka mewarnai liku jalan kisah cinta mereka, percintaan yang hanya berani mencuri tatap dari jauh, cinta yang menciptakan kerja keras untuk keberhasilan di masa depan, akhirnya berujung pada sebuah kebahagiaan merajut tali pernikahan untuk menyatukan sebuah komitmen bersama membentuk keluarga. Peristiwa penting itu terjadi setahun setelah pengangkatan keduanya menjadi pegawai tetap di STAIN, yaitu pada tahun 1995.
“Setelah tujuh tahun ‘berteman’, tahun 1995 ibu nikah dengan bapak. Orang tua ibu setuju walaupun sebenarnya sempat ditentang dengan orang-orang sekitar, karena di mata mereka bapak bukan siapa-siapa, apalagi orang yang bisa disebut mapan, tapi ibu nggak peduli, karena ibu yakin bapak adalah yang terbaik untuk ibu. Dan hal yang paling ibu kagumi dari bapak adalah motivasinya untuk maju itu nggak pernah putus.” Kenang dosen yang paling takut membantah orang tua itu dengan raut wajah sumringah. Kenangan indah itu sepertinya tengah melintas kembali di ingatannya. Tak kuputus cerita itu.
Keluarga yang dibina atas dasar cinta itu berjalan dengan mulusnya, walau terkadang sesekali percekcokan ringan menjadi sandungan kecil yang tak lama akan terlupakan dengan sendirinya. Dan kebahagiaan itu terasa lengkap ketika tak lama kemudian akan ada calon penghuni bumi baru yang menjadi tumpuan harapan keduanya dinyatakan hadir di rahim Yusdiana. Titipan Tuhan itu benar-benar mereka syukuri dan jaga, selalu terselip disetiap do’a yang dipanjatkan, dan selalu hadir di rekah senyum keduanya.
Namun Tuhan berkehendak lain, kebahagiaan itu tak lama. Cobaan datang tanpa disangka, menelusup menghitamkan semua kebahagiaan yang sedang dirasa. Kandungan Yusdiana divonis mengalami kelainan oleh dokter. Luluh lantak, porak poranda perasaan Yusdiana dan Hariansyah mendengar berita duka itu.
“Siapa coba yang nggak stres dengar berita kayak gitu, lagi senang-senangnya tiba-tiba dijatuhkan. Dan hanya ada dua pilihan, kalau ibu tetap mempertahankan calon bayi itu, bisa dipastikan lahirnya cacat karena di rahim ibu ada semacam virus yang bisa memakan calon janin, makanya harus dilakukan pengobatan terlebih dahulu sebelum hamil. Pilihan kedua juga sangat sulit untuk ibu. Aborsi. Walaupun aborsi yang ibu lakukan atas izin dari pihak kedokteran karena alasan kesehatan tapi tetap ibu takut melakukannya. Saat itu ibu dengan bapak benar-benar bingung, hanya bisa istikharah sebelum ngambil keputusan”. Kenang Bu Yusdiana dengan kesedihan yang tak disembunyikan. Aku jadi merasa bersalah telah mengungkit masalah itu. Tapi ada sedikit penasaran dalam hatiku mengenai kelanjutan ceritanya.
“Jadi akhirnya ibu ngambil keputusan apa?”. Tanyaku menyelidik sambil siap-siap mencatat semua cerita itu di bukuku.
“Setelah diskusi dengan bapak dan keluarga, akhirnya ibu memilih untuk aborsi. Berat memang, tapi itu adalah pilihan terbaik menurut keputusan bersama. Daripada anak itu lahir cacat ditambah membahayakan nyawa ibu juga, akhirnya keputusan itu yang ibu ambil. Dan Ibu harus menjalani terapi dan pengobatan dulu sebelum hamil”. Bu Yusdiana menjawab pertanyaanku dengan lebih santai kali ini, sepertinya sudah lebih bisa menguasai dirinya.
Yah, begitulah jalan Tuhan untuknya, pasang surut kehidupan pasti akan selalu dihadapi setiap manusia. Walau awalnya tidak rela harus melakukan sesuatu yang bertentangan dengan keinginannya, tapi semua itu coba mereka hadapi dengan ikhlas. Kejadian itu sempat membuat keluarga kecil itu mengalami sedikit badai, kesedihan meliputi hari-hari mereka.
Dua tahun setengah penantian itu, waktu yang sangat lama bagi keluarga yang sudah mendambakan kehadiran seseorang yang bisa menjadi penawar rasa lelah ketika keletihan mendera, seseorang yang bisa menciptakan senyum ketika kesedihan menghampiri, seseorang yang bisa menenangkan hati melalui sorot matanya yang bening dan polos.
Tapi Tuhan maha adil, Dia memberikan sesuatu kepada hambanya sesuai dengan usaha yang dilakukan. Dalam kesedihan itu, Yusdiana dan Hariansyah tidak hanya berpangku tangan menerimanya, segala daya upaya dan usaha dilakukan, pengobatan dan terapi dijalani, do’a tak pernah putus dihaturkan demi kesembuhan yang diharap-harapkan itu. Dan Tuhan menjawab segalanya. Jeda dua tahun setengah dari pernikahannya, Yusdiana dinyatakan hamil kembali oleh dokter, dengan kondisi kehamilan yang sehat. Kembali syukur itu tak terbendung.
“Ibu senang sekali dengar berita itu, semua itu terjadi setelah penantian yang benar-benar panjang”. Binar cerah mengalir dari mata Bu Yusdiana saat menceritakan hal itu. Aku turut tersenyum mendengarnya, seakan aku juga ikut merasakan kebahagiaannya saat itu.
Dan pada tahun 1998 lahirlah buah hati pertama mereka, seorang putri yang sangat lucu serta sehat wal’afiat tidak kurang satu apapun yang diberi nama Zafira Dzurahma Ramadhani, lahir pada bulan Ramadhan, bulan penuh berkah. Menguap sudah kesedihan dan ketakutan yang pernah dirasakan keduanya. Hari-hari mereka kini dipenuhi raung tangis bayi yang malah membuat keduanya tertawa bahagia. Serasa sempurna kebahagiaan itu sekarang.
Tuntutlah ilmu walau sampai ke negeri Cina. Ungkapan Nabi Muhammad ini sepertinya yang menjadi nyawa dalam prinsip hidup seorang Yusdiana. Tak puas mereguk ilmu hanya sampai Sarjana Pendidikan. Di tengah-tengah kesibukannya di kampus dan keluarga, dia berniat melanjutkan pendidikannya ke jenjang lebih tinggi, S2. Dengan keinginan yang keras dan dukungan dari keluarga akhirnya Yusdiana melaksanakan niatnya, dan kali ini pun kepergian menuntut ilmu itu dilakukan bersama-sama suami tercinta. Tekad yang kuat telah membawa Yusdiana dan Hariansyah terdampar di Universitas Indonesia bagian Psikologi Pendidikan.
Tahun 2002 Yusdiana beserta suami selesai menjalani masa-masa pendidikannya, banyak kejadian yang mereka alami selama proses itu. Tahun 1999 bulan September, kurang lebih setahun setelah kelahiran anak pertama, Yusdiana melahirkan anak kedua dengan jenis kelamin yang sama, perempuan, diberi nama Shaquila Aura Khalyla. Tak lama kemudian disusul lagi dengan anak ketiga yang lahir pada tahun 2001 bulan Agustus dengan nama Shahfarhan Irfanul Fikri, kali ini seorang putra yang gagah. Kesabaran benar-benar dituntut pada masa itu. Tanggung jawab di STAIN Pontianak yang tidak mungkin ditinggalkan, pendidikan yang sedang dijalani yang tak mungkin diabaikan, dan keluarga yang juga harus mendapatkan perhatian ekstra. Semuanya adalah beban yang tidak ringan untuk dipikul di waktu yang sama.
Dosen yang mempunyai moto hidup ‘Masalah hari ini, selesaikan hari ini!’ itu pernah juga mengalami kehidupan ekonomi yang sempat menjadi masalah saat Yusdiana berada di pulau seberang, menghidupi tiga orang anak dan ditambah lagi dengan biaya pendidikan dia beserta suaminya yang tidak sedikit membuatnya harus bisa menerikan ikat pinggang sekuat mungkin. Bantuan dari STAIN Pontianak yang tidak begitu besar hanya mampu membantu untuk sementara. Selebihnya Yusdiana berusaha dengan keringatnya sendiri, tentu saja dengan bantuan suami. Keduanya pernah meminta bantuan dana pada Menteri Agama, namun itu juga belum mampu menutupi kekurangan yang mereka alami.
“Ibu ingat pengalaman yang tak terlupakan berdua dengan bapak waktu lagi belajar di UI, ibu dan bapak hari itu hanya megang uang lima ribu rupiah, benar-benar hanya lima ribu. Kebetulan hari itu memamg lagi puasa, jadi pas buka kami berdua beli nasi satu bungkus dan dimakan berdua, dan sahurnya hanya makan kerupuk dan segelas air, sedih rasanya kalau ingat hari itu, tapi ya Alhamdulillah, hasil kerja keras itu bisa dinikmati sekarang”. Kenang Bu Yusdiana sedikit menggurat segaris senyum kesedihan. Tapi tak lama, wajah itu kembali cerah.
Setiap kenangan, senang maupun sedih akan selalu menjadi pelajaran bagi orang-orang yang berpikir. Dan mengambil pelajaran dari pengalaman yang telah lalu adalah hal yang paling bijaksana. Itu juga yang menjadi pesan disaat akhir wawancaraku dengan Ketua Jurusan Tarbiyah yang selama lima tahun ini tinggal di Jalan Husain Hamzah Pal V Komplek Mandai Lestari Permai No. B 19 itu dengan harapan yang besar.
“Ibu senang liat mahasiswa yang sibuk ikut organisasi, itu penting untuk kematangan jiwanya, tapi jangan sampai mengkambinghitamkan organisasi itu dengan bermalas-malasan kuliah sampai nilainya anjlok semua dan lulusnya bertahun-tahun. Mumpung kalian sekarang bisa dengan mudah belajar. Apalagi yang kerjanya hanya kuliah, nggak diganggu sama kerjaan. Benar-benarlah kuliahnya”. Pesan bijak Ketua Jurusan yang baru diangkat tahun 2010 itu untuk seluruh anak didiknya.
Dan kini Yusdiana hidup mapan, tenang dan tentram. Sekarang anak-anaknya sudah mulai beranjak remaja, dia sendiripun saat ini mulai sibuk dengan tambahan kerja sebagai Ketua Jurusan, dan suaminya, Hariansyah, atau yang biasa lebih dikenal mahasiswa STAIN Pontianak dengan panggilan Pak Ian atau Maikel juga sedang sibuk melanjutkan studi S3 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang difokuskan bagian Psikologi Agama.
Akhirnya wawancara hari itu selesai, kisah itu sangat membekas di hatiku, banyak pelajaran yang bisa kuambil dari semua perjalanan yang telah seorang Yusdiana lewati. Setiap usaha yang dilakukan pasti akan mendapat hasil yang setimpal, kerja keras dan tekun serta do’a yang tak pernah dilupakan menjadi kunci utamanya. Ini adalah segelintir kisah yang bisa menjadi referensi bagi siapa saja yang mau berusaha merubah diri menjadi lebih baik mulai dari hari ini.
Kutinggalkan ruangan itu dengan hati luar biasa lega, tugas berat namun mengasyikan itu telah selesai kuemban. Tanpa terasa keringat dingin yang mengalir deras sebelum wawancara itu dimulai telah mengering dengan sendirinya, perutku juga sudah kehilangan rasa sakitnya, kakiku melangkah dengan damai keluar dari ruangan. Senyum manis kutebar di mana-mana, maklumlah hatiku sedang lega. Kutemukan sahabat ‘gila’ku berada di lorong depan ruang itu tengah menatapku heran.
“Lagi senang jak nampaknya ni? Jangan senang lok, baru wawancara tu, belum mulai garapnya, sedang gak peningnya tu!”.
Deg! Kejam kata-kata itu di telingaku, dia menakut-nakutiku. Senyumku memuai dengan kilat. Arrrrrgghhh....., hatiku kebat-kebit, kutambah gas kakiku untuk berjalan, kutinggalkan sahabatku yang bengong melihat ekspresi diamku. Dalam pikiran hanya satu kata yang terlintas untuk tulisan yang akan kugarap itu.
“Kebuuuuuuuuuuuuuttttt...........!!!!” (TembangJadulScout)NB: Tugas nulis profil dosen dari Club Menulis STAIN Pontianak

Tidak ada komentar:

Posting Komentar